Apakah
hadits dha’if bisa menjadi
hujjah/rujukan dalam agama islam?
Inilah menjadi
perdebatan yg tak kunjung usai hingga kini. Berikut saya akan memaparkan
beberapa perbedaan pendapat mengenai boleh tidaknya menerapkan hadits dha’if.
Pada kesempatan ini
saya akan menukil masalah hukum untuk mengamalkan hadits dha’if dari DR.Muhammad Ajaj Al Khatib dalam kitabnya “Ushul Al
Hadits, beliau mengatakan bahwa ada tiga pendapat dikalangan ulama mengenai
penggunaan hadits dha’if, yaitu:
1. Hadits dha’if tidak bisa diamalkan
secara mutlak, baik tentang fadha’il maupun persoalan yang menyangkut ahkam
(hukum syariah). Hal tersebut dikabarkan oleh Ibnu Sayyidinnas dari Yahya Ibnu
Ma’in, dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Al Arabi. Pendapat ini
tampaknya merupakan pendapat Imam Al Bukhari dan Imam Muslim (berdasarkan
kriteria-kriteria yang kita pahami dari keduanya), dan Ibnu Hazm.
2. Hadits dha’if bisa diamalkan secara
mutlak. Pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Daud dan Imam Ahmad. Keduanya berpendapat
bhawa hadits dha’if lebih kuat
daripada ra’yu (rasio) perseorangan.
Ibnu Qayyim berkata, “Tidaklah yang beliau (Imam Ahmad) maksudkan hadits dha’if
adalah yang batil, yang mungkar, serta bukan riwayat yang mengandung perawi
yang muttaham (tertuduh), sekiranya
dilarang mengambil dan mengamalknnya; tetapi hadits dha’if menurut beliau adlah
lawan dari hadits shahih yang merupakan bagian dari hadits hasan. Beliau tidak membagi hadits menjadi shahih, hasan dan dha’if tetapi menjadi shahih dan dhaif. Yang dha’if menurut beliau memiliki beberapa tingkatan, dan
apabila dalam bab yang bersangkutan tidak ada atsar yang menolaknya atau pendapat seorang sahabat atau ijma’ yang
berbeda dengannya, maka mengamalkannya lebih utama daripada qiyas (analogi). Imam Ahmad tidak akan
mengamalkan hadits dha’if, kecuali dalam bab yang bersangkutan tidak ada yang
lainnya dan diantara hadits dha’if itu ada yang berkualitas hasan. (menurut terminologi ulama
sesudahnya).
3. Hadits dha’if bisa digunakan dalam
masalah fadha’il, mawa’idz (nasihat) atau yang sejenis bila memenuhi beberapa
syarat-syarat sebagai berikut:
a. Kedha’ifannya
tidak terlalu ; sehingga tidak termasuk di dalamnya seorang pendusta atau yang
dituduh yang melakukan penyendirian dan juga orang yang sering melakukan
kesalahan. Al Ala’iy meriwayatkan kesepakatan ulama mengenai syarat ini.
b. Hadits
dha’if itu masuk dalam cakupan hadits pokok yang bisa
diamalkan.
c. Ketika
mengamalkan tidak meyakini bahwa hadits itu berstatus kuat, tetapi sekedar
berhati-hati.
Kemudian DR Muhammad
Ajaj Al Khatib kembali berkata, “Tidak ragu lagi,pendapat pertama yang paling
selamat. Kita memiliki cukup banyak hadits-hadits shahih tentang fadha’il,
targhib, dan tarhib yang merupakan sabda Nabi Saw.
Hal
tersebut membuat kita tidak perlu meriwayatkan hadits-hadits dha’if mengenai
masalah fadha’il dan sejenisnya; lebih-lebih bab fadha’il dan akhlaq termasuk
pilar agama. Sehingga tidak ada perbedaan antara hal-hal tersebut dengan
hukum-hukum, ditinjau dari segi kekuatan sumbernya (shahih atau hasan), sehingga sumbernya harus dari kabar yang bisa
diterima. (Ushul Al Hadits, halaman 253).
Semoga
dengan pemaparan di atas akan menambah wawasan kita dalam memilah memilih
haditas mana yang akan menjadi rujuakan dalam pengamalan kegiatan-kegiatan yg
menyangkut dengan agama islam.
Wallahullam bi Shawab
Sumber
: “Hadits-hadits Dha’if dalam Riyadush
Shalihin” ; M. Nasharuddin Al Albani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar