Translate

Sabtu, 22 Juni 2013

Berhujjah dengan hadits dho'if??



Apakah hadits dha’if bisa menjadi hujjah/rujukan dalam agama islam?

Inilah menjadi perdebatan yg tak kunjung usai hingga kini. Berikut saya akan memaparkan beberapa perbedaan pendapat mengenai boleh tidaknya menerapkan hadits dha’if.
Pada kesempatan ini saya akan menukil masalah hukum untuk mengamalkan hadits dha’if dari DR.Muhammad Ajaj Al Khatib dalam kitabnya “Ushul Al Hadits, beliau mengatakan bahwa ada tiga pendapat dikalangan ulama mengenai penggunaan hadits dha’if, yaitu:

1.  Hadits dha’if  tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik tentang fadha’il maupun persoalan yang menyangkut ahkam (hukum syariah). Hal tersebut dikabarkan oleh Ibnu Sayyidinnas dari Yahya Ibnu Ma’in, dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Al Arabi. Pendapat ini tampaknya merupakan pendapat Imam Al Bukhari dan Imam Muslim (berdasarkan kriteria-kriteria yang kita pahami dari keduanya), dan Ibnu Hazm.

2.   Hadits dha’if bisa diamalkan secara mutlak. Pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Daud dan Imam Ahmad. Keduanya berpendapat bhawa hadits dha’if lebih kuat daripada ra’yu (rasio) perseorangan. Ibnu Qayyim berkata, “Tidaklah yang beliau (Imam Ahmad) maksudkan hadits dha’if adalah yang batil, yang mungkar, serta bukan riwayat yang mengandung perawi yang muttaham (tertuduh), sekiranya dilarang mengambil dan mengamalknnya; tetapi hadits dha’if menurut beliau adlah lawan dari hadits shahih yang merupakan bagian dari hadits hasan. Beliau tidak membagi hadits menjadi shahih, hasan dan dha’if tetapi menjadi shahih dan dhaif. Yang dha’if menurut beliau memiliki beberapa tingkatan, dan apabila dalam bab yang bersangkutan tidak ada atsar yang menolaknya atau pendapat seorang sahabat atau ijma’ yang berbeda dengannya, maka mengamalkannya lebih utama daripada qiyas (analogi). Imam Ahmad tidak akan mengamalkan hadits dha’if, kecuali dalam bab yang bersangkutan tidak ada yang lainnya dan diantara hadits dha’if  itu ada yang berkualitas  hasan. (menurut terminologi ulama sesudahnya).

3.  Hadits dha’if  bisa digunakan dalam masalah fadha’il, mawa’idz (nasihat) atau yang sejenis bila memenuhi beberapa syarat-syarat sebagai berikut:
a.    Kedha’ifannya tidak terlalu ; sehingga tidak termasuk di dalamnya seorang pendusta atau yang dituduh yang melakukan penyendirian dan juga orang yang sering melakukan kesalahan. Al Ala’iy meriwayatkan kesepakatan ulama mengenai syarat ini.
b.    Hadits dha’if  itu masuk dalam cakupan hadits pokok yang bisa diamalkan.
c.    Ketika mengamalkan tidak meyakini bahwa hadits itu berstatus kuat, tetapi sekedar berhati-hati.

Kemudian DR Muhammad Ajaj Al Khatib kembali berkata, “Tidak ragu lagi,pendapat pertama yang paling selamat. Kita memiliki cukup banyak hadits-hadits shahih  tentang fadha’il, targhib, dan tarhib yang merupakan sabda Nabi Saw.
Hal tersebut membuat kita tidak perlu meriwayatkan hadits-hadits dha’if mengenai masalah fadha’il dan sejenisnya; lebih-lebih bab fadha’il dan akhlaq termasuk pilar agama. Sehingga tidak ada perbedaan antara hal-hal tersebut dengan hukum-hukum, ditinjau dari segi kekuatan sumbernya (shahih atau hasan), sehingga sumbernya harus dari kabar yang bisa diterima. (Ushul Al Hadits, halaman 253).
Semoga dengan pemaparan di atas akan menambah wawasan kita dalam memilah memilih haditas mana yang akan menjadi rujuakan dalam pengamalan kegiatan-kegiatan yg menyangkut dengan agama islam.
Wallahullam bi Shawab

Sumber : “Hadits-hadits Dha’if dalam Riyadush Shalihin” ; M. Nasharuddin Al Albani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar