Translate

Selasa, 06 Maret 2012

PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA LANSIA (Studi Kasus di LP Kelas IIA Sragen)

PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA LANSIA (Studi Kasus di LP Kelas IIA Sragen) 
oleh: Nurrahman Sukiman
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Latar Belakang Masalah
Dalam sistem hukum Indonesia dikenal dengan hukum kepidanaan, yakni sistem aturan yang mengatur semua perbuatan yang tidak boleh dilakukan (dilarang untuk dilakukan) oleh setiap warga negara Indonesia disertai sanksi yang tegas bagi setiap pelanggar aturan tersebut serta tata cara yang harus dilalui bagi para pihak yang berkompeten dalam  penegakannya.[1] Sementara itu, dalam Pasal 10 KUHP dikenal dua macam pidana yaitu pidana pokok dan tambahan, di mana salah satu pidana pokoknya adalah pidana penjara yang mana orang yang menjalani pidana penjara biasa disebut dengan sebutan narapidana. Tujuan memberi hukuman kepada narapidana, selain memberikan perasaan lega kepada pihak korban juga untuk menghilangkan keresahan di masyarakat. Caranya yaitu dengan menyadarkan mereka dengan cara menanamkan pembinaan jasmani maupun rohani. Dengan demikian, tujuan dari pidana penjara adalah selain untuk menimbulkan rasa derita karena kehilangan kemerdekaan, juga untuk membimbing terpidana agar bertaubat dan kembali menjadi anggota masyarakat yang baik.
Pembinaan narapidana merupakan salah satu bagian terpenting dalam upaya penanggulangan kejahatan dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Pembinaan adalah satu bagian dari proses rehabilitasi watak dan perilaku narapidana selama menjalani hukuman hilang kemerdekaan, sehingga ketika mereka keluar dari Lembaga Pemasyarakatan mereka telah siap berbaur kembali dengan masyarakat. Pemasyarakatan merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam Tata Peradilan Terpadu adalah bagian Integral dari Tata Peradilan Terpadu (Integrated Criminal Justice system). Lembaga Pemasyarakatan merupakan bagian dari sistem peradilan pidana yang mengarah pada tujuan resosialisasi. Oleh karena itu, sebagai upaya pencapaian tujuan sistem peradilan pidana khususnya dalam resosialisasi diperlukan suatu sistem yang dikenal dengan sistem pemasyarakatan yang harus dilaksanakan dalam proses pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari pemidanaan dalam tata peradilan pidana.
Pelaku tindak pidana yang telah lanjut usia (LANSIA) merupakan salah satu warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan yang harus mendapatkan pembinaan dan pengarahan yang intensif. Manusia lanjut usia atau sering disebut Manula ataupun Lansia  adalah periode di mana organisme telah mencapai kemasakan dalam ukuran dan fungsi dan juga telah menunjukkan kemunduran sejalan dengan waktu.[2] Ada beberapa pendapat mengenai “usia kemunduran” yaitu ada yang menetapkan 60 tahun, 65 tahun dan 70 tahun. Badan kesehatan dunia (WHO) menetapkan 65 tahun sebagai usia yang menunjukkan proses menua yang berlangsung secara nyata dan seseorang telah disebut lanjut usia.[3] Dan lanjut usia dapat dikelompokkan menjadi:
a.    Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun;
b.    Lanjut usia (elderly): antara 60 dan 74 tahun;
c.    Lanjut usia tua (old): antara 75 dan 90 tahun;
d.   Usia sangat tua (very old) : di atas 90 tahun.
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, Lanjut Usia adalah orang yang telah berusia 60 tahun ke atas. Dengan demikian, berkisar usia 60 tahun sampai 70 tahun ke atas akan terjadi penurunan kesehatan dan keterbatasan fisik, maka diperlukan perawatan sehari-hari yang cukup. Perawatan tersebut dimaksudkan agar lansia mampu mandiri atau mendapat bantuan yang minimal. Perawatan yang diberikan berupa kebersihan perorangan seperti kebersihan gigi dan mulut, kebersihan kulit dan badan serta rambut. Sementara itu, pemberian informasi pelayanan kesehatan yang memadai juga sangat diperlukan bagi lansia agar dapat mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Di samping itu, pemberian fasilitas sehari-hari yang  memadai dan kedudukan yang istimewa dalam tiap peran sosialnya adalah merupakan salah satu pilar terpenting dalam rangka melakukan pembinaan dan perawatan yang efektif bagi narapidana lanjut usia.

Rumusan Masalah
1.        Bagaimanakah bentuk normatif pembinaan narapidana dan realisasinya terhadap narapidana Lanjut Usia (LANSIA) yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Sragen?
2.        Bagaimanakah intensitas peran dan partisipasi petugas pemasyarakatan dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana Lanjut Usia (LANSIA) di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Sragen?
3.        Apa yang menjadi faktor pendorong ataupun penghambat tercapainya tujuan pembinaan terhadap narapidana lanjut usia?

Tujuan Penelitian
1.        Untuk mengetahui bentuk normatif pembinaan narapidana dan realisasinya terhadap narapidana Lanjut Usia (LANSIA) yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Sragen.
2.        Untuk mengetahui peran dan partisipasi petugas pemasyarakatan dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana Lanjut Usia (LANSIA) di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Sragen.
3.        Untuk mengetahui faktor pendorong ataupun penghambat tercapainya tujuan pembinaan terhadap narapidana lanjut usia.



Metode Penelitian
Dalam melakukan suatu penelitian agar terlaksana dengan optimal, maka peneliti mempergunakan metode sebagai berikut:
Metode Pendekatan
            Metode pendekatan yang diterapkan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris. Pendekatan ini mengkaji bentuk normatif atau yuridis pembinaan narapidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan realisasinya terhadap Narapidana Lanjut Usia (LANSIA) di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen.
Jenis Penelitian
            Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif. “Penelitian deskriptif adalah penelitian yang merupakan prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek dan obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak”.[4] Hal ini senada dengan tujuan dari penelitian di atas, yakni untuk mengetahui bentuk normatif pembinaan narapidana dan realisasinya terhadap narapidana Lanjut Usia (LANSIA), serta peran dan partisipasi petugas pemasyarakatan dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana Lanjut Usia yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen.
Lokasi Penelitian
          Penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen. Adapun alasan penulis memilih lokasi tersebut adalah karena tidak semua narapidana yang telah berusia lanjut itu ada di setiap Lapas di Indonesia, hanya ada sebagian Lapas saja yang masih membina narapidana lanjut usia. Dalam hal ini, penulis memilih lokasi di Lapas Sragen karena masih terdapat narapidana yang telah berusia lanjut (LANSIA).
Jenis Data
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan sumber data sebagai berikut:
a.         Data Primer
Data yang diperoleh penulis secara langsung di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen, baik dari petugas pemasyarakatan maupun dari narapidana yang telah berusia lanjut.
b.        Data Sekunder
Data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka, yang terdiri dari:
1)   Bahan Hukum Primer, meliputi:
a.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
c.    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan;
d.   Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan;
e.    Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan;
f.     Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia;
g.    Peraturan Perundang-undangan lainnya, khususnya yang mengenai dengan pembinaan dan pembimbingan Narapidana maupun tentang Lansia.
2)   Bahan Hukum Sekunder, meliputi literatur-literatur dan hasil karya tulis ilmiah para pakar sarjana mengenai pembinaan narapidana dan manusia lanjut usia (LANSIA).
Metode Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data di atas, maka digunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a.    Studi Kepustakaan
Dilakukan dengan cara mempelajari buku-buku kepustakaan dengan tujuan untuk memperoleh data yang diperlukan, dilakukan dengan cara mencari, mencatat, menginventarisasi, menganalisis, mempelajari dan mengutip data yang diperoleh dari buku-buku yang berkaitan dengan skripsi ini.
b.    Wawancara (Interview)
Dilakukan dengan bertanya secara langsung  kepada Petugas Pemasyarakatan dan Narapidana yang telah lanjut usia di dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen.
Metode Analisis Data
Dalam metode analisis data yang akan digunakan, penulis menggunakan metode analisis data kualitatif yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang diperoleh dari Peraturan Perundang-Undangan dan literatur yang berhubungan dengan Pembinaan Narapidana Lanjut Usia. Kemudian dihubungkan dengan data yang diperoleh dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen. Dengan demikian, akan diketahui masalah dan pemecahan masalah tersebut, serta hasil dari penelitian dan hasil akhir dari penelitian yang berupa kesimpulan.


HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran  Umum Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan lapas-lapas lain yang ada di Indonesia. Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Sragen merupakan salah satu Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) Pemasyarakatan sebagai tempat pembinaan narapidana yang bernaung di bawah Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Propinsi Jawa Tengah. Melihat perkembangan fisik maupun non fisiknya, Lapas Sragen menjadi salah satu lapas percontohan di Indonesia, khususnya di wilayah Jawa Tengah.
Sarana dan prasarana penunjang Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Sragen dalam melaksanakan tugas di antaranya:
a.         Sarana perkantoran terdiri dari 5 (lima) unit bagian dan seksi di mana letaknya terpisah-pisah yang meliputi 1 (satu) unit bagian tata usaha (kepegawaian, keuangan dan umum), 1 (satu) unit ruang KPLP beserta ruang pemeriksaan, 1 (satu) unit ruang administrasi keamanan dan tata tertib, 1 (satu) unit ruang Binadik (registrasi dan bimkemas ), dan 1 (satu) unit ruang Kegiatan Kerja. Masing-masing unit terpisah sesuai dengan kondisi dan keadaan lapas;
b.        Sarana Perawatan terdiri dari 1 (satu) unit poliklinik dan 1 (satu) unit dapur;
c.         Sarana peribadatan terdiri dari satu 1 (satu) masjid dan 1 (satu) unit gereja;
d.        Sarana pembinaan terdiri dari ruang belajar, ruang serbaguna (aula) yang berfungsi juga sebagai ruang kesenian, perpustakaan serta ruang bengkel kerja;
e.         Sarana olahraga terdiri dari 1 (satu) lapangan voli dan 1 (satu) lapangan tennis serta sarana tennis meja, karambol dan catur yang berada di dalam blok;
f.         Sarana sosial terdiri dari ruang kunjungan;
g.        Sarana pengamanan terdiri dari 1 (satu) portir atau pos utama, pos transit dan 4 (empat) pos jaga atas;
h.        Sarana transportasi yaitu mobil dinas untuk Kalapas;
i.          Unit rumah dinas pegawai yang berada di sebelah timur LP;
j.          Ruang hunian yang terdiri dari 6 (enam) blok, yaitu:
1)        Blok A (Blok Wanita) merupakan ruang hunian bagi tahanan atau narapidana wanita;
2)        Blok B untuk narapidana yang aktif bekerja atau sedang menjalani asimilasi;
3)        Blok C, Blok D dan Blok E untuk narapidana yang mengikuti Mapenaling (masa pengenalan awal lingkungan);
4)        Blok F diperuntukkan untuk tahanan yang baru masuk dan terdapat dua kamar khusus untuk narapidana dan tahanan anak (wisma putra).
Dalam struktur organisasi di Lapas Klas IIA Sragen, terdapat 1 (satu) orang kepala, 2 (dua) orang Kepala Sub Bagian yaitu Kepala Sub Bagian Tata usaha dan Kepala KPLP, 2 (dua) orang Kepala Ur yaitu urusan kepegawaian dan urusan umum, 3 (tiga) orang Kepala Seksi yaitu Seksi bimbingan napi dan anak didik, Seksi kegiatan kerja dan Seksi administrasi keamanan dan tata tertib, dan 6 (enam) orang Kepala Sub Seksi terdiri dari Sub Seksi bimbingan napi atau anak didik, Sub Seksi Registrasi, Sub Seksi Bimbingan kerja dan pengelolaan hasil kerja, Sub Seksi Sarana Kerja, Sub Seksi keamanan dan Sub Seksi pelaporan dan tata tertib.
Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Sragen saat ini terdapat 141 orang pegawai yang terdiri dari 116 orang pegawai pria dan 25 orang pegawai wanita dengan jenjang pangkat, usia, masa kerja dan pendidikannya. Sementara itu, Jumlah penghuni Lapas Klas IIA Sragen dengan kapasitas normal atau idealnya 400 orang, saat ini telah berisi sejumlah 409 orang (19 April 2011) ter­di­ri atas na­ra­pi­da­na (Na­pi) dan  ta­han­an ti­ti­pan. Titipan tahanan ini terbanyak berasal dari Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan Negeri.

Bentuk Normatif Pembinaan Narapidana Dan Realisasinya Terhadap Narapidana Lanjut Usia Yang Diterapkan Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen

Bentuk Normatif Pembinaan Narapidana
Pembinaan narapidana di Indonesia dilakukan setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dilaksanakan dengan Sistem Pemasyarakatan. Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, dijelaskan bahwa pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.
Pembinaaan narapidana sebagaimana yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tersebut dilakukan dengan program pembinaan dan pembimbingan yang meliputi kegiatan pembinaan dan pembimbing kepribadian dan kemandirian. Program pembinaan ini diperuntukkan bagi Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang sedang menjalani proses pemasyarakatan.[5]
Secara yuridis pembinaan narapidana di Lapas Sragen tidak berbeda dengan penyelenggaraan pembinaan napi di lapas-lapas lain bahwa pelaksanaan yang berkaitan dengan tugas dan fungsi Lapas Sragen tetap berlandaskan pada Peraturan Perundang-undangan yang secara umum maupun khusus telah mengaturnya secara sistematis. Peraturan-peraturan tersebut dapat disebutkan sebagai berikut:
1)   Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan;
2)   Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan;
3)   Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan;
4)   Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas PP Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan;
5)   Surat-Surat Keputusan yang terdiri dari:
a)    SK Menteri Kehakiman No: M. 02-PK. 04.1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana dan Tahanan;
b)   SK bersama Menteri Kehakiman RI dan Menteri Perindustrian No: 425/M/SK/U/1985 tentang Kegiatan Penyelenggaraan Program Latihan Kerja Industrial dan Pemasaran Hasil Produksi Narapidana;
c)    SK Bersama antara Dirjen Pemasyarakatan, Depnaker dan Dirjen Rehabilitasi Sosial (Depsos) tanggal 7 Desember 1984, No: M 01-PK 03.01 tahun 1984 tentang Kerjasama dalam Penyelenggaraan Program Latihan Kerja Bagi Narapidana serta Rehabilitasi dan Resosialisasi Bekas Narapidana dan Anak Negara;
d)   Surat-Surat Edaran misalnya Surat Edaran No.KP.10.13/31 tanggal 08 Pebruari 1995 tentang Penetapan Proses Pemasyarakatan sebagai Metode Pembinaan;
e)    Petunjuk-petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis lainnya.

Tahap-tahap Pembinaan Narapidana
Dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan dijelaskan bahwa tahapan-tahapan pembinaan narapidana secara sistematis sebagai berikut:
a.    Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a bagi Narapidana dimulai sejak yang bersangkutan berstatus sebagai Narapidana sampai dengan 1/3 (satu per tiga) dari masa pidana. Tahapan ini meliputi:
1)   Masa pengamatan, pengenalan dan penelitian lingkungan paling lama 1 (satu) bulan;
2)   Perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian;
3)   Pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian; dan
4)   Penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal.
b.    Pembinaan tahap lanjutan meliputi tahap lanjutan tahap pertama yang dimulai sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai dengan 1/2 (satu per dua) dari masa pidana dan tahap lanjutan kedua, sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua per tiga) masa pidana. Tahapan kedua ini meliputi:
1)   Perencanaan program pembinaan kepribadian lanjutan;
2)   Pelaksanaan program pembinaan lanjutan;
3)   Penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan;
4)   Perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi.
c.    Pembinaan tahap akhir dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari narapidana yang bersangkutan, meliputi:
1)   Perencanaan program integrasi;
2)   Pelaksanaan program integrasi;
3)   Pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir.

Sementara itu, proses pembinaan terbagi dalam 4 (empat) tahap yaitu:
1.    Tahap Pertama
Tahap pertama atau disebut tahap admisi dan orientasi merupakan tahap pengenalan narapidana. Dalam tahap ini narapidana belum mendapat pembinaan. Petugas hanya melakukan pengamatan, pengenalan dan penelitian terhadap narapidana mengenai latar belakang pendidikan, sebab ia melakukan tindak pidana, keadaan ekonomi dan sebagainya.
2.    Tahap kedua
Setelah narapidana menjalani 1/3 masa pidananya, segera diadakan sidang TPP kembali untuk membahas mengenai penerapan pelaksanaan pembinaan selanjutnya terhadap narapidana. Dalam tahap ini akan diterapkan mengenai peningkatan program. Apabila dalam sidang TPP, wali menyatakan bahwa ada sikap, perilaku positif dari narapidana, narapidana dapat segera dipindahkan di Blok C dan harus menempuh pembinaan sampai ½ masa pidana. Namun apabila hasil penilaian dan pengamatan menyatakan bahwa narapidana tidak menunjukkan sikap yang baik maka narapidana tersebut tetap berada di blok D. 43.
3.    Tahap ketiga
Apabila hasil evaluasi sidang TPP menyatakan bahwa narapidana telah menjalani tahap-tahap pembinaan sebelumnya dengan baik, ia dapat melanjutkan tahap pembinaan yang ketiga. Pengusulan narapidana yang dinyatakan layak untuk menjalani pembinaan tahap ketiga dilakukan oleh Kalapas kepada Kakanwil Hukum dan HAM Propinsi Jawa Tengah. Bentuk Persetujuan hukum diwujudkan dengan Surat Keputusan. Narapidana yang diijinkan menjalani pembinaan tahap ini akan ditempatkan di Blok B dan menjalani sampai dengan 2/3 masa pidananya. Apabila Kakanwil Hukum dan HAM tidak menyetujui karena mungkin ada persyaratan yang belum terpenuhi, maka narapidana tetap dibina dan ditempatkan pada tahap kedua.
4.    Tahap keempat
Setelah narapidana berhasil menjalani tahap-tahap sebelumnya yaitu tahap pertama sampai dengan tahap ketiga, narapidana dapat melanjutkan pembinaan di tahap yang keempat. Tahap pembinaan ini adalah tahap pembinaan yang terakhir, sehingga narapidana akan menjalani tahap ini sampai masa pidananya berakhir. Bimbingan narapidana yang telah menjalani tahap integrasi tidak lagi diberikan oleh petugas Lapas tetapi sudah menjadi wewenang BAPAS.

Realisasi Program Pembinaan Narapidana Terhadap Narapidana Lanjut Usia
Pada dasarnya pembinaan yang dilakukan oleh Lapas Kelas IIA Sragen terhadap narapidana lanjut usia tidak berbeda jauh atau sama halnya dengan pola pembinaan yang diberikan kepada narapidana pada umumnya, yakni dibagi menjadi dua bagian pembinaan yang berupa program pembinaan kepribadian dan program pembinaan kemandirian. Pemberian kedua program pembinaan ini bertujuan untuk memberi bekal hidup baik bekal berbentuk material maupun spiritual.
Dalam pelaksanaan pembinaan narapidana di Lapas Kelas IIA Sragen dilakukan dengan berdasarkan kepada 10 prinsip pemasyarakatan, yaitu:
1.    Prinsip pertama yaitu pemberian bekal hidup yang berbentuk material dan spiritual diimplementasikan melalui pembinaan kemandirian dan pembinaan kepribadian;
2.    Tidak boleh ada pengasingan dan pembinaan dilaksanakan secara bertahap;
3.    Pekerjaan tidak boleh hanya sekedar mengisi waktu tapi juga harus ditunjukkan untuk membangun negara;
4.    Bimbingan dan didikan berdasarkan pancasila;
5.    Perlakuan yang objektif dan manusiawi;
6.    Bangunan dan sarana yang layak yang mendukung proses pembinaan;
7.    Dalam penjatuhan pidana hanyalah berupa kehilangan kemerdekaan dan tidak ada penyiksaan;
8.    Diberikan bimbingan sosial dan menanamkan pengertian hidup dan kehidupan yang baik;
9.    Pencegahan penularan kejahatan;
10.    Memberikan bekal pekerjaan yang berguna untuk menghidupi keluarganya.
 Program pembinaan narapidana secara umum yang dilakukan di Lapas Sragen terbagi dalam beberapa kegiatan pokok yaitu:
a.    Pembinaan Kepribadian
1)        Taman Baca Al-Quran setiap Senin, Selasa dan Kamis;
2)        Pengajian setiap hari Rabu diikuti oleh seluruh Napi/Tahanan yang beragama Islam, penceramah dari pesantren Al-Widah, tokoh masyarakat dan petugas rohani Lembaga Pemasyarakatan Sragen secara bergilir;
3)        Perayaan hari besar Islam dengan pementasan seni rohani dan penceramah dari luar secara bergantian;
4)        Sholat Jum’at, Dhuhur dan Asyar berjamaah di Masjid At-Taibin Lapas Sragen;
5)        Kebaktian di gereja setiap Senin s/d Sabtu diikuti WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan) yang beragama Nasrani dengan Pendeta dari BKGS Kab.Sragen secara bergantian;
6)        Upacara bendera hari Kesadaran berbangsa dan bernegara bersama petugas setiap tanggal 17 setiap bulan dengan mengagendakan pembacaan Catur Dharma Narapidana dan paduan suara untuk menyanyikan Iagu Indonesia Raya dan lagu-lagu perjuangan;
7)        Latihan Musik Band dan Qosidah seminggu 2 (dua) kali;
8)        Latihan bola volley setiap hari Jum’at dan Sabtu;
9)        Latihan Tennis Meja,Catur dan lain-lain setiap hari di blok masing-masing pada waktu senggang;
10)    Kejar Paket A setiap hari Selasa dan Kamis diikuti oleh sekitar 22 orang ,bekerja sama dengan UPT Diknas Kabupaten Sragen;
11)    Kegiatan perpustakaan setiap hari dengan anggota sekitar 56 orang dan jumlah buku 500 buah;
12)    Pemeliharaan taman luar dan dalam serta kebersihannya setiap hari;
13)    Rekreasi berupa pemutaran film (video) dan hiburan musik setiap Sabtu.
b.    Pembinaan Kemandirian
1)        Pembuatan gerabah untuk memenuhi pesanan dari luar Lapas dan juga dipamerkan di dalam Lapas;
2)        Pembuatan paving blok memenuhi pesanan dari luar Lapas;
3)        Penjahitan bekerjasama dengan konveksi memenuhi pesanan dari dalam dan luar Lapas;
4)        Pertanian dengan menanam sayur di dalam dan luar tembok Lembaga Pemasyarakatan untuk dipasarkan;
5)        Pembibitan tanaman hias di tempat khusus dan blok hunian untuk dipasarkan pada kios di luar Lembaga Pemasyarakatan;
6)        Kerajinan tangan seperti layang-layang, blangkon, kapal-kapalan, konde, wig dan cinderamata lainnya untuk dipasarkan di luar Lapas;
7)        Seni lukis untuk dipasarkan di luar Lapas dan dipamerkan di dalam Lapas;
8)        Pembuatan batu bata untuk dipasarkan keluar Lapas;
9)        Potong rambut dengan membuka kios di luar lembaga Pemasyarakatan;
10)    Tambal ban dengan membuka kios di luar Lembaga Pemasyarakatan;
11)    Pencucian mobil dengan membuka di luar Lembaga Pemasyarakatan;
12)    Budidaya lele di luar Lembaga Pemasyarakatan untuk dipasarkan.
Secara empiris, pembinaan yang diterapkan terhadap narapidana lanjut usia di Lapas Sragen lebih ditekankan pada hal yang bersifat persuasif dalam tiap kegiatannya selama di dalam Lapas. Hal yang bersifat persuasif ini diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam pola pembinaan kepribadian. Namun hal ini tidak bisa dikatakan secara pasti kalau seorang narapidana lanjut usia hanya diterapkan pembinaan dengan pola pembinaan kepribadian saja, tetapi kekhususan ini disesuaikan dengan kondisi atau kemampuan dari tiap pribadi narapidana lansia baik kondisi fisik maupun mental dan kejiwaannya. Dengan demikian, tidak ada pemaksaan dari wali pemasyarakatan kepada narapidana lansia untuk mengikuti atau tidak mengikuti program pembinaan yang dilaksanakan.
Secara umum terdapat banyak kegiatan-kegiatan untuk memberi pembinaan baik yang bersifat kepribadian maupun kemandirian kepada narapidana, khususnya narapidana lansia. Namun dengan melihat kondisi fisik dan mental atau kejiwaan narapidana, tidak semua narapidana lansia diikutkan dalam proses kegiatan pembinaan. Narapidana lansia yang ada di Lapas Sragen semuanya beragama islam, sehingga kegiatan pembinaan kepribadian yang dilaksanakan oleh pihak Lapas berkisar kegiatan-kegiatan keislaman, antara lain:
1)   Taman Baca Al-Quran setiap Senin, Selasa dan Kamis;
2)   Pengajian setiap hari Rabu diikuti oleh seluruh Napi/Tahanan yang beragama Islam, penceramah dari pesantren Al-Widah, tokoh masyarakat dan petugas rohani Lembaga Pemasyarakatan Sragen secara bergilir;
3)   Perayaan hari besar Islam dengan pementasan seni rohani dan penceramah dari luar secara bergantian;
4)   Sholat Jum’at, Dhuhur dan Asyar berjamaah di Masjid At-Taibin Lapas Sragen.
Selain kegiatan-kegiatan yang bersifat pembinaan kepribadian, pembinaan kemandirian juga diterapkan terhadap narapidana lansia namun tidak diwajibkan atau diharuskan, karena dilihat dari segi kemampuan fisiknya. Pembinaan kemandirian yang telah diterapkan terhadap narapidana lansia, antara lain:
a)    Pertanian dengan menanam sayur di dalam dan luar tembok Lembaga Pemasyarakatan untuk dipasarkan;
b)   Pembibitan tanaman hias di tempat khusus dan blok hunian untuk dipasarkan pada kios di luar Lapas.
Adapun kegiatan-kegiatan lain di luar program pembinaan kepribadian yakni membersihkan lingkungan Lapas, misalnya yang dilakukan oleh salah satu narapidana lansia yaitu membersihkan halaman Lapas dan septic tank. Namun kegiatan yang bersifat rutinitas ini hanya dibebankan kepada narapidana lansia yang masih kuat secara fisik dan mampu mengerjakannya.

Faktor Pendorong dan Penghambat Tercapainya Tujuan Pembinaan Terhadap Narapidana Lanjut Usia Di Lembaga Pemasyarakayan Kelas IIA Sragen

-            Faktor Pendorong Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Lanjut Usia
Dalam pelaksanaan program pembinaan di Lapas Sragen, baik pembinaan kepribadian maupun kemandirian di Lapas Sragen terdapat beberapa faktor pendorong yang potensial mendukung tercapainya tujuan pemasyarakatan yang dilihat dari beberapa aspek, yaitu:
1)   Peran aktif keluarga Narapidana Lansia dalam memberikan dorongan atau motivasi positif;
2)   Kemampuan atau kecakapan individu wali pemasyarakatan dalam pelaksanaan pembinaan;
3)   Pelayanan Kesehatan yang cukup baik;
-            Faktor Penghambat Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Lanjut Usia
1)   Bidang Administratif
-       Pembuatan Litmas (Penelitian Kemasyarakatan) dari Bapas sebagian besar hanya dibuat secara umum dan kurang terperinci mengenai kondisi keluarga narapidana;
-       Berkas pengusulan surat-surat kelengkapan administrasi masih berlangsung lamban.
2)   Bidang Kepegawaian
-       Kurangnya tenaga profesional di bidang pembinaan dan tidak ada pelatihan khusus mengenai pelaksanaan proses pembinaan narapidana lansia, serta kurang pemahaman petugas akan arti pentingnya 10 prinsip pemasyarakatan dalam pelaksanaan tugas;
-       Belum adanya petugas pemasyarakatan yang khusus menangani Narapidana Lansia;
-       Terdapat kekurangtelitian Tim Pengamat Pemasyarakatan dalam mengamati syarat-syarat administratif;
-       Sosialisasi dari petugas Lapas Sragen yang kurang kepada masyarakat mengenai tugas dan arti pentingnya pemasyarakatan.
3)   Bidang Yuridis
-       Belum adanya kejelasan yang pasti mengenai batasan pengertian keluarga penjamin narapidana sebagai kelengkapan syarat administratif dalam proses pembinaan narapidana;
-       Peraturan mengenai pengawasan dan pembinaan narapidana, termasuk narapidana lansia yang sedang menjalani PB dan CMB dilingkungan masyarakat belum diatur secara rinci dan jelas.
4)   Bidang Kesehatan
-       Belum adanya sarana kesehatan kejiwaan (psikis) untuk Narapidana Lansia.
5)   Sikap Prisonisasi dan stigmatisasi masyarakat pada narapidana yang masih kental, terkhusus  yang sedang menjalani  proses pembinaan Pembebasan Bersyarat atau Cuti menjelang bebas yang  berada di lingkungan masyarakat
6)   Kondisi Sosial dan Ekonomi Narapidana Lansia yang kurang baik
7)   Penghuni Lapas Sragen yang melebihi kapasitas normal (Overload Capacity)
8)   Hambatan yang berasal dari dalam diri Narapidana Lansia (Objek Pembinaan), dapat berupa:
a)    Tingkat penyerapan dalam penerimaan materi pembinaan yang rendah;
b)   Penurunan fungsi organ tubuh;
c)    Rasa malu;
d)   Kemampuan mental yang menurun (Kondisi Psikis).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1.        Bentuk normatif pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen berlandaskan pada:
a)    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan;
b)   PP Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan;
c)    Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan;
d)   Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas PP Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan;
e)    Surat-Surat Keputusan yang terdiri dari:
-       SK Menteri Kehakiman No: M. 02-PK. 04.1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana dan Tahanan;
-       SK bersama Menteri Kehakiman RI dan Menteri Perindustrian No: 425/M/SK/U/1985 tentang Kegiatan Penyelenggaraan Program Latihan Kerja Industrial dan Pemasaran Hasil Produksi Narapidana;
-       SK Bersama antara Dirjen Pemasyarakatan, Depnaker dan Dirjen Rehabilitasi Sosial (Depsos) tanggal 7 Desember 1984, No: M 01-PK 03.01 tahun 1984 tentang Kerjasama dalam Penyelenggaraan Program Latihan Kerja Bagi Narapidana serta Rehabilitasi dan Resosialisasi Bekas Narapidana dan Anak Negara;
-       Surat-Surat Edaran misalnya Surat Edaran No.KP.10.13/31 tanggal 08 Pebruari 1995 tentang Penetapan Proses Pemasyarakatan sebagai Metode Pembinaan;
-       Petunjuk-petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis lainnya.
2.        Realisasi pembinaan narapidana lanjut usia di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen menunjukan bahwa:
a)      Pola pembinaan tidak mengandung perbedaan yang signifikan dengan pola pembinaan yang diberikan kepada narapidana biasa, yakni pembinaan yang dilakukan dibagi menjadi dua bagian yang berupa program pembinaan kepribadian dan program pembinaan kemandirian;
b)      Pelaksanaan program pembinaan terdapat perlakuan yang khusus dari petugas pemasyarakatan atau wali narapidana Lapas Sragen.
3.        Intensitas peran dan partisipasi petugas pemasyarakatan dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana lanjut usia di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen diwujudkan sebagai wali narapidana atau pendamping narapidana lansia dalam tiap pelaksanaan program pembinaan secara intensif melalui pendekatan individu dan pendekatan persuasif.
4.        Faktor-faktor yang mendorong dan menghambat pelaksanaan pembinaan bagi narapidana lanjut usia yaitu:
a)    Faktor Pendorong
-       Ikut sertanya keluarga dalam memberikan motivasi positif yang dilakukan secara berkala ketika mengunjungi Narapidana Lansia;
-       Meningkatnya kemampuan atau kecakapan individu wali pemasyarakatan dalam memberikan pembinaan kepada narapidana lansia;
-       Pelayanan kesehatan medis di dalam lapas yang cukup memadai dalam memberikan jaminan kesehatan kepada narapidana lansia.
b)   Faktor Penghambat
-       Bidang Administratif, meliputi:
o  Pembuatan Litmas (Penelitian Kemasyarakatan) dari Bapas kurang terperinci mengenai kondisi keluarga narapidana, pendapat warga sekitar atau tokoh masyarakat setempat;
o  Berkas pengusulan surat-surat kelengkapan administrasi masih berlangsung lambat.
-       Bidang Kepegawaian, meliputi:
o  Kurangnya tenaga profesional di bidang pembinaan;
o  Tidak adanya pelatihan khusus mengenai pelaksanaan proses pembinaan narapidana lansia;
o  Kurangnya pemahaman petugas akan arti pentingnya 10 prinsip pemasyarakatan dalam pelaksanaan tugas;
o  Belum adanya petugas pemasyarakatan yang khusus menangani Narapidana Lansia;
o  Kurangnya pengawasan internal dari pimpinan Lapas Sragen terhadap petugas pemasyarakatan.
-       Belum adanya aturan sebagai payung hukum yang khusus mengatur tentang pembinaan dan pengawasan pembinaan diluar Lapas;
-       Belum adanya sarana kesehatan kejiwaan (psikis) untuk Narapidana Lansia;
-       Kultur masyarakat yang memberikan stigma negatif kepada narapidana;
-       Penghuni Lapas Sragen yang melebihi kapasitas normal (Overload capacity);
-       Kondisi sosial dan ekonomi narapidana lanjut usia yang kurang baik;
-       Hambatan yang berasal dari dalam diri narapidana lansia.
Saran
1.    Petugas pemasyarakatan selain hanya mempergunakan cara atau pola pembinaan dengan pendekatan secara normatif, diharapkan bisa dan mampu untuk memberikan pembinaan melalui pendekatan personal secara maksimal dengan para narapidana lansia.
2.    Pelaksanaan pembinaan narapidana lansia yang menggunakan dua pola pembinaan yaitu program pembinaan kepribadian dan program pembinaan kemandirian hendaknya lebih diintensifkan ke arah pembinaan kepribadian dengan perancangan pola kegiatan yang sedikit beragam agar para narapidana lansia tidak merasa bosan atau jenuh dalam mengikutinya.
3.    Bagi petugas pemasyarakatan dalam pemberian kekhususan perlakuan dalam pelaksanaan pembinaan, hendaknya tidak berdasarkan atas penilaian subyektif semata, namun berdasarkan penilaian secara obyektif dengan melihat kondisi sebenarnya dari narapidana lansia.
4.    Pihak Lapas Kelas IIA Sragen hendaknya mulai menilai dan memperhatikan kembali sarana dan prasarana kesehatan yang mengalami kekurangan obat-obatan dan pemanfaatan fasilitas medis yang kurang maksimal.
5.    Pihak Lapas Sragen hendaknya mulai mengkonsepkan pola pembinaan khusus untuk narapidana lansia yang berbeda dengan pola pembinaan pada narapidana biasa.
6.    Bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah kabupaten Sragen, harus mulai memikirkan kehidupan narapidana lansia selanjutnya setelah bebas dari proses pembinaan di Lapas.


[1] Ilhami Bisri, 2004, Sistem Hukum Indonesia, Prinsip-prinsip dan Implementasi hukum di Indonesia, Jakarta: Grafindo Persada, hal. 39-40.
[2] Akhmadi, 2005, Permasalahan Lanjut Usia (Lansia),dalam http://www.rajawana.com. Diunduh Kamis, 2 Desember 2010 pukul 17:15.
[3] Ibid.
[4] Soerjono dan Abdulrahman, 2003, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, hal.23.
[5] Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.