Changes in Gender Roles in Kraton Surakarta and its implications for Surakarta society
Nurrahman Sukiman 1), Retno Eko Mardani2), Agustin Dwi R.M 3)
Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta
ABSTRACT
One difference that distinguishes the role of women and men - men cause an injustice, inequality in the presence of one party that is considered higher in rank, giving rise to emphases and oppression of others. In Javanese culture, a lot of terms that places the position of women is lower than men. Keraton Surakarta as stakeholders who uphold the traditional Javanese Javanese tradition as protectors and guardians of cultural identity, especially Java, who live in the Surakarta area. If it is said that the Palace of Surakarta as protectors and guards the identity of Javanese culture, it would appear a problem of how the cultures that discriminate against women, mean the existence of certain stereotypes-stereotypes that labeled the women and the stereotypes it has become a philosophy of life, so as if not can be changed. So because it's so important and fundamental is this problem, then the discussion to know the social changes in gender roles within the palace is very necessary be done to determine how far the changes regarding women's roles within the palace. So they will know how these changes will have implications on the community around the palace in their daily activities in both the private and public sphere. In order for the results of this research will be able to be a reference and an addition to knowledge for all parties. Therefore, the need explanation and depiction of a very detailed and comprehensive information on social change in gender roles in patriarchal Javanese culture procedures embraced by the palace in Surakarta.
Key word: The role of women, indigenous culture, Surakarta palace, the public.
Perubahan Sosial Peran Gender di Keraton Surakarta dan Implikasinya terhadap Masyarakat Surakarta
Agustin Dwi R.M 1), Retno Eko Mardani2),Nurrahman Sukiman 3)
ABSTRAK
Suatu perbedaan peran yang membedakan perempuan dan laki – laki menimbulkan suatu ketidakadilan, kesenjangan dengan adanya salah satu pihak yang di anggap lebih tinggi derajatnya sehingga menimbulkan penekanan-penekanan serta penindasan terhadap pihak lain. Dalam budaya Jawa, banyak istilah-istilah yang mendudukkan posisi perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Keraton Surakarta sebagai pemangku adat Jawa yang menjunjung tinggi adat Jawa sebagai pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khususnya yang hidup di daerah Surakarta. Jika dikatakan bahwa Keraton Surakarta sebagai pelindung dan penjaga identitas Budaya Jawa, maka akan muncul suatu masalah bagaimana dengan budaya-budaya yang mendiskriminasikan terhadap perempuan, maksudnya adanya stereotype-stereotype tertentu yang dilabelkan kepada perempuan dan stereotype tersebut telah menjadi falsafah hidup sehingga seolah-olah tidak bisa dirubah. Sehingga karena begitu penting dan mendasarnya permasalahan ini, maka pembahasan untuk mengetahui perubahan sosial peran gender dalam lingkungan keraton sangat perlu di lakukan guna mengetahui seberapa jauh perubahan yang terjadi mengenai peran perempuan di lingkungan keraton. Sehingga akan diketahui bagaimana perubahan tersebut akan berimplikasi terhadap masyarakat di sekitar keraton dalam aktivitas sehari-hari baik dalam ranah pribadi maupun umum. Supaya hasil penelitian ini akan dapat menjadi referensi dan penambah pengetahuan bagi semua pihak. Oleh karena itu, di butuhkan penjelasan dan penggambaran yang sangat terinci dan komprehensif mengenai perubahan sosial peran gender pada tata budaya Jawa patriarki yang di anut oleh keraton Surakarta.
Kata Kunci : Peran perempuan, adat budaya, keraton Surakarta, masyarakat.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Perempuan dan laki-laki berbeda secara alamiah, perbedaan itu merupakan kodrat yang dibawa sejak lahir dan tidak dapat dipertukarkan. Perbedaan tersebut oleh masyarakat pada umumya dikonstrusikan menjadi sebuah stereotype antara laki dan perempuan sehingga menimbulkan asumsi dalam budaya masyarakat bahwa seorang laki – laki dan perempuan dianggap berbeda, perempuan diharapkan memiliki sifat lemah lembut, keibuan ,penurut dan emosional. Sementara itu, laki-laki diharapkan kuat, rasional, jantan dan perkasa. Perbedaan-perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang timbul dari anggapan atau harapan dalam budaya masyarakat yang cenderung pula membedakan dalam hal perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional disebut dengan “ Gender “.
Adanya suatu perbedaan peran yang membedakan perempuan dan laki-laki tersebut menimbulkan suatu ketidakadilan, kesenjangan dengan adanya salah satu pihak yang di anggap lebih tinggi derajatnya sehingga menimbulkan penekanan-penekanan serta penindasan terhadap pihak lain. Laki-laki memiliki derajat yang tinggi karena dianggap kuat, rasional dan jantan. Sementara itu, perempuan pihak yang di tekan, nurut serta mudah di tindas karena perempuan bersifat lemah-lembut.
Dalam budaya Jawa, banyak istilah-istilah yang mendudukkan posisi perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Dan istilah-istilah itu sudah tertanam dalam hati masyarakat, sehingga dimaklumi dan diterima begitu saja. Kita ambilkan saja contohnya, dalam istilah Jawa ada yang menyebutkan bahwa istri sebagai kanca wingking, artinya teman belakang, sebagai teman dalam mengelola urusan rumah tangga, khususnya urusan anak, memasak, mencuci dan lain-lain. Ada lagi istilah lain suwarga nunut neraka katut. Istilah itu juga diperuntukkan bagi para istri, bahwa suami adalah yang menentukan istri akan masuk surga atau neraka. Kalau suami masuk surga, berarti istri juga akan masuk surga, tetapi kalau suami masuk neraka, walaupun istri berhak untuk masuk surga karena amal perbuatan yang baik, tetapi tidak berhak bagi istri untuk masuk surga karena harus katut atau mengikuti suami masuk neraka. Ada lagi istilah yang lebih merendahkan lagi bagi para istri, yaitu bahwa seorang istri harus bisa manak, macak, masak dan berapa kata yang berawal ‘m’ yang lain lagi. Bahwa seorang istri itu harus bisa memberikan keturunan, harus selalu berdandan untuk suaminya dan harus bisa memasak untuk suaminya. Istilah lain yang melekat pada diri seorang perempuan atau istri yakni dapur, pupur, kasur, sumur dan mungkin masih ada akhiran “ur-ur” yang lain yang bisa diteruskan untuk dilekatkan pada perempuan. Citra, peran dan status sebagai perempuan, telah diciptakan oleh budaya. Citra bagi seorang perempuan seperti yang diidealkan oleh budaya, antaralain, lemah lembut, penurut, tidak membantah, tidak boleh “melebihi”laki-laki. Peran yang diidealkan seperti pengelola rumah tangga, sebagai pendukung karir suami, istri yang penurut dan ibu yang mrantasi. Citra yang dibuat untuk laki-laki antara lain, “serba tahu”, sebagai panutan harus “lebih”dari perempuan, rasional, agresif. Peran laki-laki yang ideal adalah sebagai pencari nafkah keluarga, pelindung, “mengayomi”, sedangkan status idealnya adalah kepala keluarga (Raharjo, 1995).
Budaya Jawa yang demikian pada saat ini telah tidak sesuai dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang justru ingin meningkatkan kualitas hidup perempuan baik dalam aspek public maupun domistik, berarti adanya perbedaan kepentingan antara keraton disatu pihak dengan pemerintah di pihak. Kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut antara lain seperti antara lain UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarasutamaan Gender atau PUG, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Rumusan Masalah
- Bagaimanakah perubahan sosial peran gender yang terjadi di Keraton Surakarta?
- Bagaimana implikasi perubahan sosial peran gender tersebut terhadap masyarakat?
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari progam penelitian ini adalah sebagai berikut:
- Untuk mengetahui dan mendiskripsikan adanya perubahan sosial peran gender yang terjadi dalam lingkungan kraton Surakarta.
- Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan implikasi perubahan sosial peran gender tersebut terhadap masyarakat.
Metode Penelitian
Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (Moleong, 1991), maksudnya penelitian ini mengkaji tentang fenomena sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang menjadi masalah dan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Disamping itu, penelitian ini menggunakan perspektif gender, maksudnya perspektif penelitian ini memperhatikan pula relasi laki-laki dan perempuan wilayah domestic dan publik.
Jenis penelitian yang digunakan adalah diskriptif-analitis. Deskriptif maksudnya peneliti akan mendiskripsikan perubahan sosial peran gender yang terjadi di keraton Surakarta dan implikasinya kepada masyarakat. Analitis maksudnya peneliti akan mengkaji dan/atau membahas data yang telah diperoleh dari lapangan dengan menggunakan dasar analisis kebijakan-kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan gender dan teori perubahan sosial.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Keraton Surakarta. Adapun alasan penulis memilih lokasi tersebut adalah keraton merupakan pusat kebudayaan dan keraton mempunyai tugas untuk menjaga pelestarian budaya (dalam hal ini budaya Jawa).
Sumber Data
Data penelitian ini meliputi data primer dan sekunder, yakni sebagai berikut :
1. Data Primer, diperoleh dari hasil wawancara (interview) dan observasi langsung terhadap kehidupan sehari-hari keluarga keraton.
2. Data Sekunder, diperoleh dari hasil kajian literature, jurnal ilmiah dan dokumentasi peraturan perundangan yang relevan dengan masalah yang diteliti.
Teknik Pengumpulan Data
1. Studi Kepustakaan, untuk menggali data sekunder dengan melakukan kajian terhadap berbagai literature, jurnal dan dokumen perundangan yang relevan dengan masalah yang diteliti.
2. Wawancara, untuk menggali data primer. Wawancara dilakukan peneliti kepada keluarga keraton baik laki – laki maupun perempuan dan masyarakat Surakarta khususnya mereka yang tinggal atau mengetahui tentang keraton baik dari aspek tata aturan maupun budayanya.
- Point – point untuk wawancara kepada keluarga keraton antara lain :
Ø Peran perempuan dan laki – laki dari keluarga keraton
Ø Akses, kontrol dan partisipasi yang dimiliki oleh perempuan dan laki – laki dari keluarga keraton
Point – point untuk wawancara dengan masyarakat antara lain:
Ø Peran perempuan dan peran laki – laki yang diberikan oleh keluarga informan
Ø Akses, kontrol dan partisipasi yang dimiliki oleh perempuan dan laki – laki dari keluarga informan
Ø Apakah ada perubahan peran, kontrol, akses dan partisipasi antara perempuan dan laki – laki
Ø Apakah perubahan ini sebagai dampak adanya perubahan peran, kontrol, akses dan partispasi antara perempuan dan laki – laki kerabat keraton.
3. Observasi dilakukan oleh peneliti juga untuk menggali data primer terutama mengenai kegiatan sehari - hari yang dilakukan oleh keluarga keraton laki – laki dan perempuan.
4. Metode Analisis data.
Dalam metode analisis data yang akan digunakan, penulis menggunakan metode analisis data kualitatif yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data yang diperoleh dan kemudian dihubungkan dengan literature yang ada atau teori-teori perubahan social dan juga memperhatikan pola relasi laki-laki dan perempuan dalam wilayah public dan domestik yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti.
5. Pemeriksaaan Keabsahan Data.
Pemeriksaan Keabsahan data dengan menggunakan teknik pemeriksaan dengan tringulasi data, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Dan teknik tringulasi yang digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber, metode, penyidik (Moleong, 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perubahan Sosial Peran Gender yang terjadi di Keraton Surakarta
Deskripsi Kehidupan Keraton Surakarta.
Keraton Surakarta sebagai pemangku tahta adat jawa harus beradaptasi atau dapat menyesuaikan diri dengan peraturan pemerintah karena keraton tidak lagi memiliki otorisasi sebagaimana di ungkapkan di atas bahwa keraton hanya sebagai pemangku adat jawa maka segala aturan yang di buat oleh keraton tidak boleh bertentangan dengan peraturan pemerintah republik Indonesia yang berlaku. Sehingga terhadap setiap UU maupun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah republik indonesia, otokrasi kraton tersebut harus mengikutinya termasuk dalam kebijakan pemerintah yang menjadi pokok pembahasan penelitian ini yaitu Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang konvensi penghapusan segala bentuk dikriminasi terhadap wanita, INPRES Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG).
Kehidupan Keraton di era modern ini banyak mengalami perubahan-perubahan, baik di dalam keraton maupun diluar Keraton (masyarakat). Bahkan sekarang perempuan di dalam keraton sebagai obyek yang di lindungi oleh peraturan pemerintah seperti UU No.7 tahun 1984 tentang konvensi penghapusan segala bentuk dikriminasi terhadap wanita, INPRES No.9 tahn 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) sudah berkembang seperti masyarakat pada umumnya, dalam artian perempuan di keraton juga berkiprah di luar seperti masyarakat pada umumnya dan di lindungi oleh aturan pemerintah, misalnya kesamaan dalam memilih pendidikan antara laki-laki dan perempuan yang telah di beri hak yang sama bahkan ketika berkarier pun mereka diberi hak yang sama bahkan dalam memilih jodoh mereka di beri keluasan untuk menentukan jodohnya sendiri meski harus tetap memperhatikan bibit, bebet dan bobotnya. Sehingga Keraton pada era ini dapat dikatakan mengikuti zamannya (nut ing zamane).
Deskripsi peran perempuan dalam periodesasi Keraton Surakarta.
Pada zaman Paku Buwana X dan Paku Buwana XI yaitu masa kejayaan kesunanan keraton Surakarta, keraton memiliki kekuasaan yang kuat baik dalam bidang politik maupun ekonominya sehingga seorang raja yang memiliki kewenagan secara mutlak mempunyai pengaruh besar terhadap masyarakat. Putri-putri pada masa itu di sengker (dikurung) dan masing-masing memiliki ruang tersendiri yang di jaga ketat oleh polisi wanita, wilayah para putri itu disebut dengan sanasa keputrian yang khusus untuk para para putri dan istri-istri raja. Pada jaman PB X penghuni sasana keputrian ini sangat banyak ±500 orang, sehingga di dalam sasana keputrian itu terdapat pasar yang penjualnya berasal dari luar, karena pada waktu itu putri-putri di sengker (dikurung), sehingga sama sekali tidak keluar dari keraton.
Pada era Paku Buwana XII sudah banyak terjadi perubahan dalam struktur keraton termasuk peran wanita di dalam keraton. Paku Buwana XII di juluki sebagai sinuwun hamardiko yang artinya raja yang bertahta pada zaman kemerdekaan dan dengan aturan yang bebas. Karena pada masa ini keraton sudah tidak dalam bentuk kesunanan sepenuhnya, maka kekuasaan raja tak seperti masa kesunanan keraton Surakarta pada masa Paku Buwana X. Sehingga dalam segi kekuasaan politik dan ekonomi keraton Surakarta tidak sekuat dahulu. Hal ini berdampak terhadap putra dan putri raja, yang akhirnya banyak memilih keluar keraton untuk mencari ilmu ataupun penghidupan yang lebih baik. Namun seperti yang di ungkapkan di atas, bahwa pada massa PB XII telah ada sekolah tingkat SD dan SMP yang di khususkan untuk keluarga bangsawan keraton yaitu permadi siwi dan kesatrian. Dari sini lah di mulai adanya kesamaan pendidikan antara putri dan putra keraton meskipun sekolah itu di pisahkan antara permadi siwi khusus putri dan kesatrian khusus laki-laki. Ketika putra dan putri PB XII naik ke tingkat SMA mereka bebas menentukan SMA yang ingin di masukinya (umum).
Pada masa kepemimpinan Pakubuwana XIII ini di pimpin oleh dua raja yaitu Gusti Hangabehi dan Gusti Tejowulan dan keduanya mengklaim berhak atas tahta raja tersebut. Inilah yang juga menjadi salah satu penyebab keraton Surakarta mengalami perubahan yang signifikan. Karena ketidak stabilan kondisi di dalam keraton tersebut. Sehingga penghuni di dalam keraton pun semakin berkurang karena telah banyak putra dan putri keraton yang memilih untuk keluar terutama dari keluarga yang kontra terhadap pemilihan PB XIII. Menurut informan yang terpercaya bahwa keturunan yang sedarah dengan Gusti Hangabehi inilah yang masih bertahan di dalam keraton (penghuni keraton) sedangkan keturunan yang sedarah dengan Gusti Tejowulan memilih untuk keluar keraton, sedangkan para istri dan anak-anak yang lain dari PB XII dulu tidak di ketahui keberadaannya. Kejadian ini menyebabkan sasana keputrian sepi penghuni karena di tinggalkan oleh para istri raja dan putri-putrinya, hanya tinggal satu orang yang tinggal di sasana keputrian yaitu Gusti Retno Dumilah beliau kembali ke sasana keputrian karena sudah di tinggalkan suaminya sehingga ia boleh kembali tinggal di keraton.
Deskripsi perubahan sosial gender yang terjadi di keraton Surakarta.
Pada zaman Paku Buwana X dan Paku Buwana XI, puteri-puteri pada masa itu di sengker (dikurung) dan masing-masing memiliki ruang tersendiri yang di jaga ketat oleh polisi wanita, wilayah para puteri itu disebut dengan sasana keputrian yang khusus untuk para putri dan istri-istri raja. Pada zaman Paku Buwana X penghuni sasana keputrian ini sangat banyak ±500 orang, sehingga di dalam sasana keputrian itu terdapat pasar yang penjualnya berasal dari luar, karena pada waktu itu putri-putri di sengker (dikurung), sehingga sama sekali tidak keluar dari keraton.
Putri-putri pada masa itu memiliki peran yang berbeda dengan para putera raja. Seorang pria berhak memilih jalan untuk pendidikan dan juga peranan di luar keraton, akan tetapi kondisi yang berlainan di alami oleh puteri-puteri raja. Karena pada masa itu seorang putri hanya sebagai sekar kedaton (pajangan/hiasan), maka peran putri tersebut tak lebih hanya mendampingi sang raja, sehingga timbul istilah bahwa seorang putri harus dapat macak (tampil cantik), manak (memberi keturunan) dan masak (melakukan pekerjaan keputrian) untuk suaminya.
Namun pada masa pertengahan PB XII perempuan dan laki-laki mendapat pendidikan yang sama namun di bedakan tempat sekolah antara putera dan puterinya. Tak sedikit diantara putera dan puteri raja yang di titipkan kepada sanak saudara untuk menempuh pendidikan hingga jenjang tinggi. Dan tak sedikit pula yang masih tetap tinggal di dalam keraton dan mengabdi kepada keraton. Serta keluarnya puteri keraton dan ikut sertanya putri keraton dalam menduduki peran publik sebagai tokoh politik atau orang berpengaruh di negeri ini membuktikan bahwa telah sejalan dengan harapan yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang konvensi penghapusan segala bentuk dikriminasi terhadap wanita dan INPRES Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG),meskipun belum sepenuhnya sebagaimana tujuan dari konvensi dan INPRES itu, karena dalam perempuan dalam keraton hak-haknya masih dibatasi sebagai contoh hak untuk mewarisi harta pusaka tertentu seperti keris yang mempunyai kekuatan magis.
Implikasi perubahan sosial peran gender di keraton Surakarta terhadap masyarakat sekitar.
Perubahan peran gender dalam masyarakat sekitar keraton Surakarta berimplikasi positif dalam kehidupan masyarakat keraton. Adanya pemberdayaan perempuan dan pengakuan persamaan hak antara perempuan dan laki-laki, sehingga masyarakatnya pun lebih maju dalam pola berfikir maupun dalam hal keterampilan dalam mensejahterakan kehidupan mereka. Selain itu, menjadi motivasi tersendiri yaitu kini tidak ada sekat antara keluarga bangsawan keraton dengan masyarakat biasa, karena para bangsawan keraton kini hidup bersama dengan masyarakat biasa dan berbaur menjadi satu. Bahkan tak sedikit putra dan putri keraton yang menikah dengan masyarakat biasa (bukan dari kalangan bangsawan) dan kemudian terjadi pengangkatan menjadi bangsawan.
Dengan melihat perubahan pola kehidupan keraton yang sangat signifikan, hal ini berdampak pada pandangan masyarakat yang masih memposisikan keraton sebagai pemangku adat jawa bahwa perubahan tersebut akan mempengaruhi pola pikir masyarakat sekitarnya dalam kehidupannya, yang lebih menyamaratakan kedudukan perempuan dalam segala aktivitas sosial. Sehingga hal ini akan berdampak pada kehidupan ekonomi masyarakat pada umumnya, karena laki-laki dan perempuan dapat melakukan peran yang sama.
Realitas sekarang bahwa kehidupan warga sekitar keraton Surakarta lebih menunjukan persamaan hak dan kewajiban dalam kegiatannya sehari-hari. Misalnya, dapat penulis contohkan penjual mie ayam yang berada di lingkungan keraton adalah sepasang suami-isteri. Mereka melakukan aktivitasnya tersebut setiap hari untuk memenuhi kebutuhannya. Dan ada juga penjual es dawet yang berada di samping alun-alun utara keraton adalah seorang perempuan agak tua. Beliau tiap hari berjualan di sekitar keraton tanpa merasa malu sebagai perempuan. Dan masih banyak lagi peran-peran yang di lakukan perempuan dalam kehidupan sosialnya. Dengan demikian, bahwa dengan melihat fakta-fakta ini ternyata persamaan gender yang terjadi di keraton dapat berdampak kepada warga sekitarnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari uraian dan penjelasan yang telah peneliti deskripsikan di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa:
1. Terjadi perubahan sosial peran gender pada tata budaya Jawa patriarki yang di anut oleh keraton Surakarta,yaitu di mulai pada masa raja Paku Buwana XII tepatnya pada era kemerdekaan. Dan perubahan tersebut terus berkembang sampai sekarang yaitu pada masa Paku Buwana XIII.
2. Keraton Surakarta Hadiningrat kini sebagai penjaga budaya jawa yang berfungsi untuk menjaga simbol-simbol budaya jawa tersebut yang bersifat konkrit. Karena kesunanan Surakarta telah kehilangan kekuasaan politik dan ekonomi, maka kekuaasaannya tidak seperti pada masa sebelum kemerdekaan. Sehingga terjadinya perubahan-perubahan dalam keraton dan budaya Jawa, di karenakan keraton lebih terbuka dalam menerima budaya yang berkembang pada masyarakat luas.
Saran
1. Keraton Surakarta sebagai pemangku tahta adat Jawa diusahakan tetap menjaga eksistensi budaya keraton baik dalam ranah domistik maupun publik dengan tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah
2. Restrukturisasi sistem dan program keraton dalam penjagaan adat budaya jawa pada masa sekarang maupun akan datang.
THANK’S TO :
1. Bapak Prof. Dr. Bambang Setiaji, selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Absori S.H, M.Hum , selaku Wakil Rektor III.
3. Bapak Daliman, SU, selaku Kepala Bagian Kemahasiswaan Universitas Muhammadiyah Surakarta
4. Bapak Muh. Iksan, S.H, M.H , selaku Dekan Fak.Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.
5. Ibu Kuswardani, S.H, M.Hum, selaku Pembimbing yang telah berkenan memberikan arahan dan masukan secara sabar dan penuh kekeluargaan dalam penulisan penelitian ini.
6. Kanjeng Win selaku Pengageng Sasono Wilopo (Sekretaris umum) dalam Keraton Surakarta, yang telah setia memberi informasi-informasi yang penting dalam penelitian ini.
7. Gusti Puger selaku Pengageng Sasono Pustoko dalam Keraton.
8. Gusti Galuh selaku Pengageng Keputren.
9. Mbah Bejo selaku abdi dalem Keraton yang telah berkenan memberikan informasi secara gamplang.
10. Teman-Teman IMM Kom. FH UMS atas segala dukungannya.
11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, kepada semuanya yang telah memberikan bantuan dalam menyelesaikan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irawan.1997 , Sangkan Paran Gender, Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Bhasin, Kamala. 1996, Menggugat Partiarki, Yogyakarta:Bentang Budaya.
Fakih, Mansour, 1996, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Hermawati, Tanti, ”Budaya Jawa dan Kesetaraan Gender”, Jurnal Komunikasi Massa, Volume 1, No 1, Juli, Tahun 2007, dalam http://www.perpustakaan.uns.ac.id/jurnal/upload_file/15-fullteks.doc.
Mc Donald, Mandy (dkk), 1999, Gender dan Perubahan Organisasi (Menjembatani Kesenjangan antara Kebijakan dan Praktik, Jakarta:INSIST Press
Moleong, Lexy J.1993.Metodologi Penelitian Kulitatif, Bandung:Rosda Karya
Mosse, Julia Cleves, 2002, Gender & Pembangunan, Yogyakarta:RIFKA ANNISA Women’s Crisis Centre Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar
Raharjo, Yulfira, 1995, Gender dan Pembangunan, Puslitbang Kependudukan dan Ketenagakerjaan, Jakarta LIPI (PPT-LIPI)
Silawati, Hartian, “Pengarusutamaan Gender Dimulai dari Mana?” dalam Jurnal Perempuan, No. 50 Tahun 2006.