Translate

Selasa, 06 Maret 2012

Perubahan Sosial Peran Gender di Keraton Surakarta dan Implikasinya terhadap Masyarakat Surakarta

Changes in Gender Roles in Kraton Surakarta and its implications for Surakarta society

Nurrahman Sukiman 1), Retno Eko Mardani2), Agustin Dwi R.M 3)
Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta
ABSTRACT
One difference that distinguishes the role of women and men - men cause an injustice, inequality in the presence of one party that is considered higher in rank, giving rise to emphases and oppression of others. In Javanese culture, a lot of terms that places the position of women is lower than men. Keraton Surakarta as stakeholders who uphold the traditional Javanese Javanese tradition as protectors and guardians of cultural identity, especially Java, who live in the Surakarta area. If it is said that the Palace of Surakarta as protectors and guards the identity of Javanese culture, it would appear a problem of how the cultures that discriminate against women, mean the existence of certain stereotypes-stereotypes that labeled the women and the stereotypes it has become a philosophy of life, so as if not can be changed. So because it's so important and fundamental is this problem, then the discussion to know the social changes in gender roles within the palace is very necessary be done to determine how far the changes regarding women's roles within the palace. So they will know how these changes will have implications on the community around the palace in their daily activities in both the private and public sphere. In order for the results of this research will be able to be a reference and an addition to knowledge for all parties. Therefore, the need explanation and depiction of a very detailed and comprehensive information on social change in gender roles in patriarchal Javanese culture procedures embraced by the palace in Surakarta.

Key word: The role of women, indigenous culture, Surakarta palace, the public.










Perubahan Sosial Peran Gender di Keraton Surakarta dan Implikasinya terhadap Masyarakat Surakarta
Agustin Dwi R.M 1), Retno Eko Mardani2),Nurrahman Sukiman 3)
ABSTRAK
Suatu perbedaan peran yang membedakan perempuan dan laki – laki menimbulkan suatu ketidakadilan, kesenjangan dengan adanya salah satu pihak yang di anggap lebih tinggi derajatnya sehingga menimbulkan penekanan-penekanan serta penindasan terhadap pihak lain. Dalam budaya Jawa, banyak istilah-istilah yang mendudukkan posisi perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Keraton Surakarta sebagai pemangku adat Jawa yang menjunjung tinggi adat Jawa sebagai pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khususnya yang hidup di daerah Surakarta. Jika dikatakan bahwa Keraton Surakarta sebagai pelindung dan penjaga identitas Budaya Jawa, maka akan muncul suatu masalah bagaimana dengan budaya-budaya yang mendiskriminasikan terhadap perempuan, maksudnya adanya stereotype-stereotype tertentu yang dilabelkan kepada perempuan dan stereotype tersebut telah menjadi falsafah hidup sehingga seolah-olah tidak bisa dirubah. Sehingga karena begitu penting dan mendasarnya permasalahan ini, maka pembahasan untuk mengetahui perubahan sosial peran gender dalam lingkungan keraton sangat perlu di lakukan guna mengetahui seberapa jauh perubahan yang terjadi mengenai peran perempuan di lingkungan keraton. Sehingga akan diketahui bagaimana perubahan tersebut akan berimplikasi terhadap masyarakat di sekitar keraton dalam aktivitas sehari-hari baik dalam ranah pribadi maupun umum. Supaya hasil penelitian ini akan dapat menjadi referensi dan penambah pengetahuan bagi semua pihak. Oleh karena itu, di butuhkan penjelasan dan penggambaran yang sangat terinci dan komprehensif mengenai perubahan sosial peran gender pada tata budaya Jawa patriarki yang di anut oleh keraton Surakarta.

Kata Kunci : Peran perempuan, adat budaya, keraton Surakarta, masyarakat.




PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
                 Perempuan dan laki-laki  berbeda secara alamiah, perbedaan itu merupakan kodrat yang dibawa sejak lahir dan tidak dapat dipertukarkan. Perbedaan tersebut oleh masyarakat pada umumya dikonstrusikan menjadi sebuah stereotype antara laki dan perempuan sehingga menimbulkan asumsi dalam budaya masyarakat bahwa seorang laki – laki dan perempuan dianggap berbeda, perempuan diharapkan memiliki sifat lemah lembut, keibuan ,penurut dan emosional. Sementara itu, laki-laki diharapkan kuat, rasional, jantan dan perkasa. Perbedaan-perbedaan antara perempuan dan laki-laki  yang timbul dari anggapan atau harapan dalam budaya masyarakat yang cenderung pula membedakan dalam hal perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional disebut dengan “ Gender “.
                 Adanya suatu perbedaan peran yang membedakan perempuan dan laki-laki tersebut menimbulkan suatu ketidakadilan, kesenjangan dengan adanya salah satu pihak yang di anggap lebih tinggi derajatnya sehingga menimbulkan penekanan-penekanan serta penindasan terhadap pihak lain. Laki-laki memiliki derajat yang tinggi karena dianggap kuat, rasional dan jantan. Sementara itu, perempuan pihak yang di tekan, nurut serta mudah di tindas karena perempuan bersifat lemah-lembut. 
                 Dalam budaya Jawa, banyak istilah-istilah yang mendudukkan posisi perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Dan istilah-istilah itu sudah tertanam dalam hati  masyarakat, sehingga dimaklumi dan diterima begitu saja. Kita ambilkan saja contohnya, dalam istilah Jawa ada yang menyebutkan bahwa istri sebagai kanca wingking, artinya teman belakang, sebagai teman dalam mengelola urusan rumah tangga, khususnya urusan anak, memasak, mencuci dan lain-lain. Ada lagi istilah lain suwarga nunut neraka katut. Istilah itu juga diperuntukkan bagi para istri, bahwa suami adalah yang menentukan istri akan masuk surga atau neraka. Kalau suami masuk surga, berarti istri juga akan masuk surga, tetapi kalau suami masuk neraka, walaupun istri berhak untuk masuk surga karena amal perbuatan yang baik, tetapi tidak berhak bagi istri untuk masuk surga karena harus katut atau mengikuti suami masuk neraka. Ada lagi istilah yang lebih merendahkan lagi bagi para istri, yaitu bahwa seorang istri harus bisa manak, macak, masak dan berapa kata yang berawal ‘m’ yang lain lagi. Bahwa seorang istri itu harus bisa memberikan keturunan, harus selalu berdandan untuk suaminya dan harus bisa memasak untuk suaminya. Istilah lain yang melekat pada diri seorang perempuan atau istri yakni dapur, pupur, kasur, sumur dan mungkin masih ada akhiran “ur-ur” yang lain yang bisa diteruskan untuk dilekatkan pada perempuan. Citra, peran dan status sebagai perempuan, telah diciptakan oleh budaya. Citra bagi seorang perempuan seperti yang diidealkan oleh budaya, antaralain, lemah lembut, penurut, tidak membantah, tidak boleh “melebihi”laki-laki. Peran yang diidealkan seperti pengelola rumah tangga, sebagai pendukung karir suami, istri yang penurut dan ibu yang mrantasi. Citra yang dibuat untuk laki-laki antara lain, “serba tahu”, sebagai panutan harus “lebih”dari perempuan, rasional, agresif. Peran laki-laki yang ideal adalah sebagai pencari nafkah keluarga, pelindung, “mengayomi”, sedangkan status idealnya adalah kepala keluarga (Raharjo, 1995).
Budaya Jawa yang demikian pada saat ini telah tidak sesuai dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang justru ingin meningkatkan kualitas hidup perempuan baik dalam aspek public maupun domistik, berarti adanya perbedaan kepentingan antara keraton disatu pihak dengan pemerintah di pihak. Kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut antara lain seperti  antara lain UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarasutamaan Gender atau PUG, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

Rumusan Masalah
  1. Bagaimanakah perubahan sosial peran gender yang terjadi di Keraton Surakarta? 
  2. Bagaimana implikasi perubahan sosial peran gender tersebut terhadap masyarakat?
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari progam penelitian ini adalah sebagai berikut: 
  1. Untuk mengetahui dan mendiskripsikan  adanya perubahan sosial peran gender yang terjadi dalam lingkungan kraton Surakarta. 
  2. Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan implikasi perubahan sosial peran gender tersebut terhadap masyarakat.
Metode Penelitian
            Pendekatan dan Jenis Penelitian
            Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (Moleong, 1991), maksudnya penelitian ini mengkaji tentang fenomena sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang menjadi masalah  dan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Disamping itu, penelitian ini menggunakan perspektif gender,  maksudnya perspektif penelitian ini memperhatikan pula relasi laki-laki dan perempuan wilayah domestic dan publik.
            Jenis penelitian yang digunakan adalah diskriptif-analitis. Deskriptif  maksudnya peneliti akan mendiskripsikan perubahan sosial peran gender yang terjadi di keraton Surakarta dan implikasinya kepada masyarakat. Analitis maksudnya peneliti akan mengkaji dan/atau membahas data yang telah diperoleh dari lapangan dengan menggunakan dasar analisis kebijakan-kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan gender dan teori perubahan sosial. 

Lokasi Penelitian
            Penelitian ini dilakukan di Keraton Surakarta. Adapun alasan penulis memilih lokasi tersebut adalah keraton merupakan pusat kebudayaan dan keraton mempunyai tugas untuk menjaga pelestarian budaya (dalam hal ini budaya Jawa).

Sumber Data
Data penelitian ini meliputi data primer dan sekunder, yakni sebagai berikut :
1. Data Primer, diperoleh dari hasil wawancara (interview) dan observasi langsung terhadap kehidupan sehari-hari keluarga keraton.
2.  Data Sekunder, diperoleh dari hasil kajian literature, jurnal ilmiah dan dokumentasi peraturan perundangan yang relevan dengan masalah yang diteliti.

Teknik Pengumpulan Data

1.    Studi Kepustakaan, untuk menggali data sekunder dengan melakukan kajian terhadap berbagai literature, jurnal dan dokumen perundangan yang relevan dengan masalah yang diteliti.
2.     Wawancara, untuk menggali data primer. Wawancara dilakukan peneliti kepada keluarga keraton baik laki – laki maupun perempuan dan masyarakat Surakarta khususnya mereka yang tinggal atau mengetahui tentang keraton baik dari aspek tata aturan maupun budayanya.   
  • Point – point untuk wawancara kepada keluarga keraton antara lain :
Ø  Peran perempuan dan laki – laki dari keluarga keraton
Ø Akses, kontrol dan partisipasi yang dimiliki oleh perempuan dan laki – laki dari keluarga keraton
Point – point untuk wawancara dengan masyarakat antara lain:
Ø  Peran perempuan dan peran laki – laki yang diberikan oleh keluarga informan
Ø  Akses, kontrol dan partisipasi yang dimiliki oleh perempuan dan laki – laki dari keluarga informan
Ø  Apakah ada perubahan peran, kontrol, akses dan partisipasi antara  perempuan dan laki – laki
Ø  Apakah perubahan ini sebagai dampak adanya perubahan peran, kontrol, akses dan partispasi antara perempuan dan laki – laki kerabat keraton.
3.      Observasi dilakukan oleh peneliti juga untuk menggali data primer terutama mengenai kegiatan sehari - hari yang dilakukan oleh keluarga keraton laki – laki dan perempuan. 
4.      Metode Analisis data.
Dalam metode analisis data yang akan digunakan, penulis menggunakan metode analisis data kualitatif yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data yang diperoleh dan kemudian dihubungkan dengan literature yang ada atau teori-teori perubahan social dan juga memperhatikan pola relasi laki-laki dan perempuan dalam wilayah public dan domestik  yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti.
5.      Pemeriksaaan Keabsahan Data.
Pemeriksaan Keabsahan data dengan menggunakan teknik pemeriksaan dengan tringulasi data, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Dan teknik tringulasi yang digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber, metode, penyidik  (Moleong, 1993).


HASIL DAN PEMBAHASAN
Perubahan Sosial Peran Gender yang terjadi di Keraton Surakarta

Deskripsi Kehidupan Keraton Surakarta.

Keraton Surakarta sebagai pemangku tahta adat jawa harus beradaptasi atau dapat menyesuaikan diri dengan peraturan pemerintah karena keraton tidak lagi memiliki otorisasi sebagaimana di ungkapkan di atas bahwa keraton hanya sebagai pemangku adat jawa maka segala aturan yang di buat oleh keraton tidak boleh bertentangan dengan peraturan pemerintah republik Indonesia yang berlaku. Sehingga terhadap setiap UU maupun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah republik indonesia, otokrasi kraton tersebut harus mengikutinya termasuk dalam kebijakan pemerintah yang menjadi pokok pembahasan penelitian ini yaitu Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang konvensi penghapusan segala bentuk dikriminasi terhadap wanita, INPRES Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG).
Kehidupan Keraton di era modern ini banyak mengalami perubahan-perubahan, baik di dalam keraton maupun diluar Keraton (masyarakat). Bahkan sekarang perempuan di dalam keraton sebagai obyek yang di lindungi oleh peraturan pemerintah seperti UU No.7 tahun 1984 tentang konvensi penghapusan segala bentuk dikriminasi terhadap wanita, INPRES No.9 tahn 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) sudah berkembang seperti masyarakat pada umumnya, dalam artian perempuan di keraton juga berkiprah di luar seperti masyarakat pada umumnya dan di lindungi oleh aturan pemerintah, misalnya kesamaan dalam memilih pendidikan antara laki-laki dan perempuan yang  telah di beri hak yang sama bahkan ketika berkarier pun mereka diberi hak yang sama bahkan dalam memilih jodoh mereka di beri keluasan untuk menentukan jodohnya sendiri meski harus tetap memperhatikan bibit, bebet dan bobotnya. Sehingga Keraton pada era ini dapat dikatakan mengikuti zamannya (nut ing zamane). 


Deskripsi peran perempuan dalam periodesasi Keraton Surakarta.

Pada zaman Paku Buwana X dan Paku Buwana XI yaitu masa kejayaan kesunanan keraton Surakarta, keraton memiliki kekuasaan yang kuat baik dalam bidang politik maupun ekonominya sehingga seorang raja yang memiliki kewenagan secara mutlak mempunyai pengaruh besar terhadap masyarakat. Putri-putri pada masa itu di sengker (dikurung) dan masing-masing memiliki ruang tersendiri yang di jaga ketat oleh polisi wanita, wilayah para putri itu disebut dengan sanasa keputrian yang khusus untuk para para putri dan istri-istri raja. Pada jaman PB X penghuni sasana keputrian ini sangat banyak ±500 orang, sehingga di dalam sasana keputrian itu terdapat pasar yang penjualnya berasal dari luar, karena pada waktu itu putri-putri di sengker (dikurung), sehingga sama sekali tidak keluar dari keraton.
Pada era Paku Buwana XII sudah banyak terjadi perubahan dalam struktur keraton termasuk peran wanita di dalam keraton. Paku Buwana XII di juluki sebagai sinuwun hamardiko yang artinya raja yang bertahta pada zaman kemerdekaan dan dengan aturan yang bebas. Karena pada masa ini keraton sudah tidak dalam bentuk kesunanan sepenuhnya, maka kekuasaan raja tak seperti masa kesunanan keraton Surakarta pada masa Paku Buwana X. Sehingga dalam segi kekuasaan politik dan ekonomi keraton Surakarta tidak sekuat dahulu. Hal ini berdampak terhadap putra dan putri raja, yang akhirnya banyak memilih keluar keraton untuk mencari ilmu ataupun penghidupan yang lebih baik.  Namun seperti yang di ungkapkan di atas, bahwa pada massa PB XII telah ada sekolah tingkat SD dan SMP yang di khususkan untuk keluarga bangsawan keraton yaitu permadi siwi dan kesatrian. Dari sini lah di mulai adanya kesamaan pendidikan antara putri dan putra keraton meskipun sekolah itu di pisahkan antara permadi siwi khusus putri dan kesatrian khusus laki-laki. Ketika putra dan putri PB XII naik ke tingkat SMA mereka bebas menentukan SMA yang ingin di masukinya (umum).
Pada masa kepemimpinan Pakubuwana XIII ini di pimpin oleh dua raja yaitu Gusti Hangabehi dan Gusti Tejowulan dan keduanya mengklaim berhak atas tahta raja tersebut. Inilah yang juga menjadi salah satu penyebab keraton Surakarta mengalami perubahan yang signifikan. Karena ketidak stabilan kondisi di dalam keraton tersebut. Sehingga penghuni di dalam keraton pun semakin berkurang karena telah banyak putra dan putri keraton yang memilih untuk keluar terutama dari keluarga yang kontra terhadap pemilihan PB XIII. Menurut informan yang terpercaya bahwa keturunan yang sedarah dengan Gusti Hangabehi inilah yang masih bertahan di dalam keraton (penghuni keraton) sedangkan keturunan yang sedarah dengan Gusti Tejowulan memilih untuk keluar keraton, sedangkan para istri dan anak-anak yang lain dari PB XII dulu tidak di ketahui keberadaannya. Kejadian ini menyebabkan sasana keputrian sepi penghuni karena di tinggalkan oleh para istri raja dan putri-putrinya, hanya tinggal satu orang yang tinggal di sasana keputrian yaitu Gusti Retno Dumilah beliau kembali ke sasana keputrian karena sudah di tinggalkan suaminya sehingga ia boleh kembali tinggal di keraton.

Deskripsi perubahan sosial gender yang terjadi di keraton Surakarta.

Pada zaman Paku Buwana X dan Paku Buwana XI, puteri-puteri pada masa itu di sengker (dikurung) dan masing-masing memiliki ruang tersendiri yang di jaga ketat oleh polisi wanita, wilayah para puteri itu disebut dengan sasana keputrian yang khusus untuk para putri dan istri-istri raja. Pada zaman Paku Buwana X penghuni sasana keputrian ini sangat banyak ±500 orang, sehingga di dalam sasana keputrian itu terdapat pasar yang penjualnya berasal dari luar, karena pada waktu itu putri-putri di sengker (dikurung), sehingga sama sekali tidak keluar dari keraton.
Putri-putri pada masa itu memiliki peran yang berbeda dengan para putera raja. Seorang pria berhak memilih jalan untuk pendidikan dan juga peranan di luar keraton, akan tetapi kondisi yang berlainan di alami oleh puteri-puteri raja. Karena pada masa itu seorang putri hanya sebagai sekar kedaton (pajangan/hiasan), maka peran putri tersebut tak lebih hanya mendampingi sang raja, sehingga timbul istilah bahwa seorang putri harus dapat macak (tampil cantik), manak (memberi keturunan) dan masak (melakukan pekerjaan keputrian) untuk suaminya.
Namun pada masa pertengahan PB XII perempuan dan laki-laki mendapat pendidikan yang sama namun di bedakan tempat sekolah antara putera dan puterinya. Tak sedikit diantara putera dan puteri raja yang di titipkan kepada sanak saudara untuk menempuh pendidikan hingga jenjang tinggi. Dan  tak sedikit pula yang masih tetap tinggal di dalam keraton dan mengabdi kepada keraton. Serta keluarnya puteri keraton dan ikut sertanya putri keraton dalam menduduki peran publik sebagai tokoh politik atau orang berpengaruh di negeri ini membuktikan bahwa telah sejalan dengan harapan yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang konvensi penghapusan segala bentuk dikriminasi terhadap wanita dan INPRES Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG),meskipun belum sepenuhnya sebagaimana tujuan dari konvensi dan INPRES itu, karena dalam perempuan dalam keraton hak-haknya masih dibatasi sebagai contoh hak untuk mewarisi harta pusaka tertentu seperti keris yang mempunyai kekuatan magis.

Implikasi perubahan sosial peran gender di keraton Surakarta terhadap masyarakat sekitar.

Perubahan peran gender dalam masyarakat sekitar keraton Surakarta berimplikasi positif dalam kehidupan masyarakat keraton. Adanya pemberdayaan perempuan dan pengakuan persamaan hak antara perempuan dan laki-laki, sehingga masyarakatnya pun lebih maju dalam pola berfikir maupun dalam hal keterampilan dalam mensejahterakan kehidupan mereka. Selain itu, menjadi motivasi tersendiri yaitu kini tidak ada sekat antara keluarga bangsawan keraton dengan masyarakat biasa, karena para bangsawan keraton kini hidup bersama dengan masyarakat biasa dan berbaur menjadi satu. Bahkan tak sedikit putra dan putri keraton yang menikah dengan masyarakat biasa (bukan dari kalangan bangsawan) dan kemudian terjadi pengangkatan menjadi bangsawan.
Dengan melihat perubahan pola kehidupan keraton yang sangat signifikan, hal ini berdampak pada pandangan masyarakat yang masih memposisikan keraton sebagai pemangku adat jawa bahwa perubahan tersebut akan mempengaruhi pola pikir masyarakat sekitarnya dalam kehidupannya, yang lebih menyamaratakan kedudukan perempuan dalam segala aktivitas sosial. Sehingga hal ini akan berdampak pada kehidupan ekonomi masyarakat pada umumnya, karena laki-laki dan perempuan dapat melakukan peran yang sama.
Realitas sekarang bahwa kehidupan warga sekitar keraton Surakarta lebih menunjukan persamaan hak dan kewajiban dalam kegiatannya sehari-hari. Misalnya, dapat penulis contohkan penjual mie ayam yang berada di lingkungan keraton adalah sepasang suami-isteri. Mereka melakukan aktivitasnya tersebut setiap hari untuk memenuhi kebutuhannya. Dan ada juga penjual es dawet yang berada di samping alun-alun utara keraton adalah seorang perempuan agak tua. Beliau tiap hari berjualan di sekitar keraton tanpa merasa malu sebagai perempuan. Dan masih banyak lagi peran-peran yang di lakukan perempuan dalam kehidupan sosialnya. Dengan demikian, bahwa dengan melihat fakta-fakta ini ternyata persamaan gender yang terjadi di keraton dapat berdampak kepada warga sekitarnya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari uraian dan penjelasan yang telah peneliti deskripsikan di atas, maka peneliti  menyimpulkan bahwa:
1.      Terjadi perubahan sosial peran gender pada tata budaya Jawa patriarki yang di anut oleh keraton Surakarta,yaitu di mulai pada masa raja Paku Buwana XII tepatnya pada era kemerdekaan. Dan perubahan tersebut terus berkembang sampai sekarang yaitu pada masa Paku Buwana XIII.
2.      Keraton Surakarta Hadiningrat kini sebagai penjaga budaya jawa yang berfungsi untuk menjaga simbol-simbol budaya jawa tersebut yang bersifat konkrit. Karena kesunanan Surakarta telah kehilangan kekuasaan politik dan ekonomi, maka kekuaasaannya tidak seperti pada masa sebelum kemerdekaan. Sehingga terjadinya perubahan-perubahan dalam keraton dan budaya Jawa, di karenakan keraton lebih terbuka dalam menerima budaya yang berkembang pada masyarakat luas.

          Saran

1.  Keraton Surakarta sebagai pemangku tahta adat Jawa diusahakan tetap menjaga eksistensi budaya keraton baik dalam ranah domistik maupun publik dengan tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah
2. Restrukturisasi sistem dan program keraton dalam penjagaan adat budaya jawa pada masa sekarang maupun akan datang.


THANK’S TO :

1.      Bapak Prof. Dr. Bambang Setiaji, selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta.
2.      Bapak Prof. Dr. Absori S.H, M.Hum , selaku Wakil Rektor III.
3.      Bapak Daliman, SU, selaku Kepala Bagian Kemahasiswaan Universitas Muhammadiyah Surakarta
4.      Bapak Muh. Iksan, S.H, M.H , selaku Dekan Fak.Hukum Universitas Muhammadiyah   Surakarta.
5.      Ibu Kuswardani, S.H, M.Hum, selaku Pembimbing yang telah berkenan memberikan arahan dan masukan  secara sabar dan penuh kekeluargaan dalam penulisan penelitian ini.
6.      Kanjeng Win selaku Pengageng Sasono Wilopo (Sekretaris umum) dalam Keraton Surakarta, yang telah setia memberi informasi-informasi yang penting dalam penelitian ini.
7.      Gusti Puger selaku Pengageng Sasono Pustoko dalam Keraton.
8.      Gusti Galuh selaku Pengageng Keputren.
9.      Mbah Bejo selaku abdi dalem Keraton yang telah berkenan memberikan informasi secara gamplang.
10.  Teman-Teman IMM Kom. FH UMS atas segala dukungannya.
11.  Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, kepada semuanya yang telah memberikan bantuan dalam menyelesaikan penelitian ini.



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irawan.1997 , Sangkan Paran Gender,  Yogyakarta:Pustaka       Pelajar.
Bhasin, Kamala. 1996, Menggugat Partiarki, Yogyakarta:Bentang Budaya.
Fakih, Mansour, 1996, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,     Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Hermawati, Tanti, ”Budaya Jawa dan Kesetaraan Gender”, Jurnal             Komunikasi Massa, Volume 1, No 1, Juli, Tahun 2007, dalam http://www.perpustakaan.uns.ac.id/jurnal/upload_file/15-fullteks.doc.
Mc Donald, Mandy (dkk), 1999, Gender dan Perubahan Organisasi          (Menjembatani Kesenjangan antara Kebijakan dan Praktik,            Jakarta:INSIST Press
Moleong, Lexy J.1993.Metodologi Penelitian Kulitatif, Bandung:Rosda      Karya
Mosse, Julia Cleves, 2002, Gender & Pembangunan, Yogyakarta:RIFKA ANNISA Women’s Crisis Centre Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar
Raharjo, Yulfira, 1995, Gender dan Pembangunan, Puslitbang        Kependudukan dan Ketenagakerjaan, Jakarta LIPI (PPT-LIPI)
Silawati, Hartian, “Pengarusutamaan Gender Dimulai dari Mana?”           dalam Jurnal Perempuan, No. 50 Tahun 2006.

PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA LANSIA (Studi Kasus di LP Kelas IIA Sragen)

PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA LANSIA (Studi Kasus di LP Kelas IIA Sragen) 
oleh: Nurrahman Sukiman
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Latar Belakang Masalah
Dalam sistem hukum Indonesia dikenal dengan hukum kepidanaan, yakni sistem aturan yang mengatur semua perbuatan yang tidak boleh dilakukan (dilarang untuk dilakukan) oleh setiap warga negara Indonesia disertai sanksi yang tegas bagi setiap pelanggar aturan tersebut serta tata cara yang harus dilalui bagi para pihak yang berkompeten dalam  penegakannya.[1] Sementara itu, dalam Pasal 10 KUHP dikenal dua macam pidana yaitu pidana pokok dan tambahan, di mana salah satu pidana pokoknya adalah pidana penjara yang mana orang yang menjalani pidana penjara biasa disebut dengan sebutan narapidana. Tujuan memberi hukuman kepada narapidana, selain memberikan perasaan lega kepada pihak korban juga untuk menghilangkan keresahan di masyarakat. Caranya yaitu dengan menyadarkan mereka dengan cara menanamkan pembinaan jasmani maupun rohani. Dengan demikian, tujuan dari pidana penjara adalah selain untuk menimbulkan rasa derita karena kehilangan kemerdekaan, juga untuk membimbing terpidana agar bertaubat dan kembali menjadi anggota masyarakat yang baik.
Pembinaan narapidana merupakan salah satu bagian terpenting dalam upaya penanggulangan kejahatan dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Pembinaan adalah satu bagian dari proses rehabilitasi watak dan perilaku narapidana selama menjalani hukuman hilang kemerdekaan, sehingga ketika mereka keluar dari Lembaga Pemasyarakatan mereka telah siap berbaur kembali dengan masyarakat. Pemasyarakatan merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam Tata Peradilan Terpadu adalah bagian Integral dari Tata Peradilan Terpadu (Integrated Criminal Justice system). Lembaga Pemasyarakatan merupakan bagian dari sistem peradilan pidana yang mengarah pada tujuan resosialisasi. Oleh karena itu, sebagai upaya pencapaian tujuan sistem peradilan pidana khususnya dalam resosialisasi diperlukan suatu sistem yang dikenal dengan sistem pemasyarakatan yang harus dilaksanakan dalam proses pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari pemidanaan dalam tata peradilan pidana.
Pelaku tindak pidana yang telah lanjut usia (LANSIA) merupakan salah satu warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan yang harus mendapatkan pembinaan dan pengarahan yang intensif. Manusia lanjut usia atau sering disebut Manula ataupun Lansia  adalah periode di mana organisme telah mencapai kemasakan dalam ukuran dan fungsi dan juga telah menunjukkan kemunduran sejalan dengan waktu.[2] Ada beberapa pendapat mengenai “usia kemunduran” yaitu ada yang menetapkan 60 tahun, 65 tahun dan 70 tahun. Badan kesehatan dunia (WHO) menetapkan 65 tahun sebagai usia yang menunjukkan proses menua yang berlangsung secara nyata dan seseorang telah disebut lanjut usia.[3] Dan lanjut usia dapat dikelompokkan menjadi:
a.    Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun;
b.    Lanjut usia (elderly): antara 60 dan 74 tahun;
c.    Lanjut usia tua (old): antara 75 dan 90 tahun;
d.   Usia sangat tua (very old) : di atas 90 tahun.
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, Lanjut Usia adalah orang yang telah berusia 60 tahun ke atas. Dengan demikian, berkisar usia 60 tahun sampai 70 tahun ke atas akan terjadi penurunan kesehatan dan keterbatasan fisik, maka diperlukan perawatan sehari-hari yang cukup. Perawatan tersebut dimaksudkan agar lansia mampu mandiri atau mendapat bantuan yang minimal. Perawatan yang diberikan berupa kebersihan perorangan seperti kebersihan gigi dan mulut, kebersihan kulit dan badan serta rambut. Sementara itu, pemberian informasi pelayanan kesehatan yang memadai juga sangat diperlukan bagi lansia agar dapat mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Di samping itu, pemberian fasilitas sehari-hari yang  memadai dan kedudukan yang istimewa dalam tiap peran sosialnya adalah merupakan salah satu pilar terpenting dalam rangka melakukan pembinaan dan perawatan yang efektif bagi narapidana lanjut usia.

Rumusan Masalah
1.        Bagaimanakah bentuk normatif pembinaan narapidana dan realisasinya terhadap narapidana Lanjut Usia (LANSIA) yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Sragen?
2.        Bagaimanakah intensitas peran dan partisipasi petugas pemasyarakatan dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana Lanjut Usia (LANSIA) di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Sragen?
3.        Apa yang menjadi faktor pendorong ataupun penghambat tercapainya tujuan pembinaan terhadap narapidana lanjut usia?

Tujuan Penelitian
1.        Untuk mengetahui bentuk normatif pembinaan narapidana dan realisasinya terhadap narapidana Lanjut Usia (LANSIA) yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Sragen.
2.        Untuk mengetahui peran dan partisipasi petugas pemasyarakatan dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana Lanjut Usia (LANSIA) di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Sragen.
3.        Untuk mengetahui faktor pendorong ataupun penghambat tercapainya tujuan pembinaan terhadap narapidana lanjut usia.



Metode Penelitian
Dalam melakukan suatu penelitian agar terlaksana dengan optimal, maka peneliti mempergunakan metode sebagai berikut:
Metode Pendekatan
            Metode pendekatan yang diterapkan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris. Pendekatan ini mengkaji bentuk normatif atau yuridis pembinaan narapidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan realisasinya terhadap Narapidana Lanjut Usia (LANSIA) di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen.
Jenis Penelitian
            Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif. “Penelitian deskriptif adalah penelitian yang merupakan prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek dan obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak”.[4] Hal ini senada dengan tujuan dari penelitian di atas, yakni untuk mengetahui bentuk normatif pembinaan narapidana dan realisasinya terhadap narapidana Lanjut Usia (LANSIA), serta peran dan partisipasi petugas pemasyarakatan dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana Lanjut Usia yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen.
Lokasi Penelitian
          Penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen. Adapun alasan penulis memilih lokasi tersebut adalah karena tidak semua narapidana yang telah berusia lanjut itu ada di setiap Lapas di Indonesia, hanya ada sebagian Lapas saja yang masih membina narapidana lanjut usia. Dalam hal ini, penulis memilih lokasi di Lapas Sragen karena masih terdapat narapidana yang telah berusia lanjut (LANSIA).
Jenis Data
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan sumber data sebagai berikut:
a.         Data Primer
Data yang diperoleh penulis secara langsung di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen, baik dari petugas pemasyarakatan maupun dari narapidana yang telah berusia lanjut.
b.        Data Sekunder
Data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka, yang terdiri dari:
1)   Bahan Hukum Primer, meliputi:
a.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
c.    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan;
d.   Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan;
e.    Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan;
f.     Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia;
g.    Peraturan Perundang-undangan lainnya, khususnya yang mengenai dengan pembinaan dan pembimbingan Narapidana maupun tentang Lansia.
2)   Bahan Hukum Sekunder, meliputi literatur-literatur dan hasil karya tulis ilmiah para pakar sarjana mengenai pembinaan narapidana dan manusia lanjut usia (LANSIA).
Metode Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data di atas, maka digunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a.    Studi Kepustakaan
Dilakukan dengan cara mempelajari buku-buku kepustakaan dengan tujuan untuk memperoleh data yang diperlukan, dilakukan dengan cara mencari, mencatat, menginventarisasi, menganalisis, mempelajari dan mengutip data yang diperoleh dari buku-buku yang berkaitan dengan skripsi ini.
b.    Wawancara (Interview)
Dilakukan dengan bertanya secara langsung  kepada Petugas Pemasyarakatan dan Narapidana yang telah lanjut usia di dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen.
Metode Analisis Data
Dalam metode analisis data yang akan digunakan, penulis menggunakan metode analisis data kualitatif yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang diperoleh dari Peraturan Perundang-Undangan dan literatur yang berhubungan dengan Pembinaan Narapidana Lanjut Usia. Kemudian dihubungkan dengan data yang diperoleh dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen. Dengan demikian, akan diketahui masalah dan pemecahan masalah tersebut, serta hasil dari penelitian dan hasil akhir dari penelitian yang berupa kesimpulan.


HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran  Umum Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan lapas-lapas lain yang ada di Indonesia. Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Sragen merupakan salah satu Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) Pemasyarakatan sebagai tempat pembinaan narapidana yang bernaung di bawah Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Propinsi Jawa Tengah. Melihat perkembangan fisik maupun non fisiknya, Lapas Sragen menjadi salah satu lapas percontohan di Indonesia, khususnya di wilayah Jawa Tengah.
Sarana dan prasarana penunjang Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Sragen dalam melaksanakan tugas di antaranya:
a.         Sarana perkantoran terdiri dari 5 (lima) unit bagian dan seksi di mana letaknya terpisah-pisah yang meliputi 1 (satu) unit bagian tata usaha (kepegawaian, keuangan dan umum), 1 (satu) unit ruang KPLP beserta ruang pemeriksaan, 1 (satu) unit ruang administrasi keamanan dan tata tertib, 1 (satu) unit ruang Binadik (registrasi dan bimkemas ), dan 1 (satu) unit ruang Kegiatan Kerja. Masing-masing unit terpisah sesuai dengan kondisi dan keadaan lapas;
b.        Sarana Perawatan terdiri dari 1 (satu) unit poliklinik dan 1 (satu) unit dapur;
c.         Sarana peribadatan terdiri dari satu 1 (satu) masjid dan 1 (satu) unit gereja;
d.        Sarana pembinaan terdiri dari ruang belajar, ruang serbaguna (aula) yang berfungsi juga sebagai ruang kesenian, perpustakaan serta ruang bengkel kerja;
e.         Sarana olahraga terdiri dari 1 (satu) lapangan voli dan 1 (satu) lapangan tennis serta sarana tennis meja, karambol dan catur yang berada di dalam blok;
f.         Sarana sosial terdiri dari ruang kunjungan;
g.        Sarana pengamanan terdiri dari 1 (satu) portir atau pos utama, pos transit dan 4 (empat) pos jaga atas;
h.        Sarana transportasi yaitu mobil dinas untuk Kalapas;
i.          Unit rumah dinas pegawai yang berada di sebelah timur LP;
j.          Ruang hunian yang terdiri dari 6 (enam) blok, yaitu:
1)        Blok A (Blok Wanita) merupakan ruang hunian bagi tahanan atau narapidana wanita;
2)        Blok B untuk narapidana yang aktif bekerja atau sedang menjalani asimilasi;
3)        Blok C, Blok D dan Blok E untuk narapidana yang mengikuti Mapenaling (masa pengenalan awal lingkungan);
4)        Blok F diperuntukkan untuk tahanan yang baru masuk dan terdapat dua kamar khusus untuk narapidana dan tahanan anak (wisma putra).
Dalam struktur organisasi di Lapas Klas IIA Sragen, terdapat 1 (satu) orang kepala, 2 (dua) orang Kepala Sub Bagian yaitu Kepala Sub Bagian Tata usaha dan Kepala KPLP, 2 (dua) orang Kepala Ur yaitu urusan kepegawaian dan urusan umum, 3 (tiga) orang Kepala Seksi yaitu Seksi bimbingan napi dan anak didik, Seksi kegiatan kerja dan Seksi administrasi keamanan dan tata tertib, dan 6 (enam) orang Kepala Sub Seksi terdiri dari Sub Seksi bimbingan napi atau anak didik, Sub Seksi Registrasi, Sub Seksi Bimbingan kerja dan pengelolaan hasil kerja, Sub Seksi Sarana Kerja, Sub Seksi keamanan dan Sub Seksi pelaporan dan tata tertib.
Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Sragen saat ini terdapat 141 orang pegawai yang terdiri dari 116 orang pegawai pria dan 25 orang pegawai wanita dengan jenjang pangkat, usia, masa kerja dan pendidikannya. Sementara itu, Jumlah penghuni Lapas Klas IIA Sragen dengan kapasitas normal atau idealnya 400 orang, saat ini telah berisi sejumlah 409 orang (19 April 2011) ter­di­ri atas na­ra­pi­da­na (Na­pi) dan  ta­han­an ti­ti­pan. Titipan tahanan ini terbanyak berasal dari Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan Negeri.

Bentuk Normatif Pembinaan Narapidana Dan Realisasinya Terhadap Narapidana Lanjut Usia Yang Diterapkan Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen

Bentuk Normatif Pembinaan Narapidana
Pembinaan narapidana di Indonesia dilakukan setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dilaksanakan dengan Sistem Pemasyarakatan. Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, dijelaskan bahwa pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.
Pembinaaan narapidana sebagaimana yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tersebut dilakukan dengan program pembinaan dan pembimbingan yang meliputi kegiatan pembinaan dan pembimbing kepribadian dan kemandirian. Program pembinaan ini diperuntukkan bagi Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang sedang menjalani proses pemasyarakatan.[5]
Secara yuridis pembinaan narapidana di Lapas Sragen tidak berbeda dengan penyelenggaraan pembinaan napi di lapas-lapas lain bahwa pelaksanaan yang berkaitan dengan tugas dan fungsi Lapas Sragen tetap berlandaskan pada Peraturan Perundang-undangan yang secara umum maupun khusus telah mengaturnya secara sistematis. Peraturan-peraturan tersebut dapat disebutkan sebagai berikut:
1)   Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan;
2)   Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan;
3)   Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan;
4)   Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas PP Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan;
5)   Surat-Surat Keputusan yang terdiri dari:
a)    SK Menteri Kehakiman No: M. 02-PK. 04.1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana dan Tahanan;
b)   SK bersama Menteri Kehakiman RI dan Menteri Perindustrian No: 425/M/SK/U/1985 tentang Kegiatan Penyelenggaraan Program Latihan Kerja Industrial dan Pemasaran Hasil Produksi Narapidana;
c)    SK Bersama antara Dirjen Pemasyarakatan, Depnaker dan Dirjen Rehabilitasi Sosial (Depsos) tanggal 7 Desember 1984, No: M 01-PK 03.01 tahun 1984 tentang Kerjasama dalam Penyelenggaraan Program Latihan Kerja Bagi Narapidana serta Rehabilitasi dan Resosialisasi Bekas Narapidana dan Anak Negara;
d)   Surat-Surat Edaran misalnya Surat Edaran No.KP.10.13/31 tanggal 08 Pebruari 1995 tentang Penetapan Proses Pemasyarakatan sebagai Metode Pembinaan;
e)    Petunjuk-petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis lainnya.

Tahap-tahap Pembinaan Narapidana
Dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan dijelaskan bahwa tahapan-tahapan pembinaan narapidana secara sistematis sebagai berikut:
a.    Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a bagi Narapidana dimulai sejak yang bersangkutan berstatus sebagai Narapidana sampai dengan 1/3 (satu per tiga) dari masa pidana. Tahapan ini meliputi:
1)   Masa pengamatan, pengenalan dan penelitian lingkungan paling lama 1 (satu) bulan;
2)   Perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian;
3)   Pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian; dan
4)   Penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal.
b.    Pembinaan tahap lanjutan meliputi tahap lanjutan tahap pertama yang dimulai sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai dengan 1/2 (satu per dua) dari masa pidana dan tahap lanjutan kedua, sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua per tiga) masa pidana. Tahapan kedua ini meliputi:
1)   Perencanaan program pembinaan kepribadian lanjutan;
2)   Pelaksanaan program pembinaan lanjutan;
3)   Penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan;
4)   Perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi.
c.    Pembinaan tahap akhir dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari narapidana yang bersangkutan, meliputi:
1)   Perencanaan program integrasi;
2)   Pelaksanaan program integrasi;
3)   Pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir.

Sementara itu, proses pembinaan terbagi dalam 4 (empat) tahap yaitu:
1.    Tahap Pertama
Tahap pertama atau disebut tahap admisi dan orientasi merupakan tahap pengenalan narapidana. Dalam tahap ini narapidana belum mendapat pembinaan. Petugas hanya melakukan pengamatan, pengenalan dan penelitian terhadap narapidana mengenai latar belakang pendidikan, sebab ia melakukan tindak pidana, keadaan ekonomi dan sebagainya.
2.    Tahap kedua
Setelah narapidana menjalani 1/3 masa pidananya, segera diadakan sidang TPP kembali untuk membahas mengenai penerapan pelaksanaan pembinaan selanjutnya terhadap narapidana. Dalam tahap ini akan diterapkan mengenai peningkatan program. Apabila dalam sidang TPP, wali menyatakan bahwa ada sikap, perilaku positif dari narapidana, narapidana dapat segera dipindahkan di Blok C dan harus menempuh pembinaan sampai ½ masa pidana. Namun apabila hasil penilaian dan pengamatan menyatakan bahwa narapidana tidak menunjukkan sikap yang baik maka narapidana tersebut tetap berada di blok D. 43.
3.    Tahap ketiga
Apabila hasil evaluasi sidang TPP menyatakan bahwa narapidana telah menjalani tahap-tahap pembinaan sebelumnya dengan baik, ia dapat melanjutkan tahap pembinaan yang ketiga. Pengusulan narapidana yang dinyatakan layak untuk menjalani pembinaan tahap ketiga dilakukan oleh Kalapas kepada Kakanwil Hukum dan HAM Propinsi Jawa Tengah. Bentuk Persetujuan hukum diwujudkan dengan Surat Keputusan. Narapidana yang diijinkan menjalani pembinaan tahap ini akan ditempatkan di Blok B dan menjalani sampai dengan 2/3 masa pidananya. Apabila Kakanwil Hukum dan HAM tidak menyetujui karena mungkin ada persyaratan yang belum terpenuhi, maka narapidana tetap dibina dan ditempatkan pada tahap kedua.
4.    Tahap keempat
Setelah narapidana berhasil menjalani tahap-tahap sebelumnya yaitu tahap pertama sampai dengan tahap ketiga, narapidana dapat melanjutkan pembinaan di tahap yang keempat. Tahap pembinaan ini adalah tahap pembinaan yang terakhir, sehingga narapidana akan menjalani tahap ini sampai masa pidananya berakhir. Bimbingan narapidana yang telah menjalani tahap integrasi tidak lagi diberikan oleh petugas Lapas tetapi sudah menjadi wewenang BAPAS.

Realisasi Program Pembinaan Narapidana Terhadap Narapidana Lanjut Usia
Pada dasarnya pembinaan yang dilakukan oleh Lapas Kelas IIA Sragen terhadap narapidana lanjut usia tidak berbeda jauh atau sama halnya dengan pola pembinaan yang diberikan kepada narapidana pada umumnya, yakni dibagi menjadi dua bagian pembinaan yang berupa program pembinaan kepribadian dan program pembinaan kemandirian. Pemberian kedua program pembinaan ini bertujuan untuk memberi bekal hidup baik bekal berbentuk material maupun spiritual.
Dalam pelaksanaan pembinaan narapidana di Lapas Kelas IIA Sragen dilakukan dengan berdasarkan kepada 10 prinsip pemasyarakatan, yaitu:
1.    Prinsip pertama yaitu pemberian bekal hidup yang berbentuk material dan spiritual diimplementasikan melalui pembinaan kemandirian dan pembinaan kepribadian;
2.    Tidak boleh ada pengasingan dan pembinaan dilaksanakan secara bertahap;
3.    Pekerjaan tidak boleh hanya sekedar mengisi waktu tapi juga harus ditunjukkan untuk membangun negara;
4.    Bimbingan dan didikan berdasarkan pancasila;
5.    Perlakuan yang objektif dan manusiawi;
6.    Bangunan dan sarana yang layak yang mendukung proses pembinaan;
7.    Dalam penjatuhan pidana hanyalah berupa kehilangan kemerdekaan dan tidak ada penyiksaan;
8.    Diberikan bimbingan sosial dan menanamkan pengertian hidup dan kehidupan yang baik;
9.    Pencegahan penularan kejahatan;
10.    Memberikan bekal pekerjaan yang berguna untuk menghidupi keluarganya.
 Program pembinaan narapidana secara umum yang dilakukan di Lapas Sragen terbagi dalam beberapa kegiatan pokok yaitu:
a.    Pembinaan Kepribadian
1)        Taman Baca Al-Quran setiap Senin, Selasa dan Kamis;
2)        Pengajian setiap hari Rabu diikuti oleh seluruh Napi/Tahanan yang beragama Islam, penceramah dari pesantren Al-Widah, tokoh masyarakat dan petugas rohani Lembaga Pemasyarakatan Sragen secara bergilir;
3)        Perayaan hari besar Islam dengan pementasan seni rohani dan penceramah dari luar secara bergantian;
4)        Sholat Jum’at, Dhuhur dan Asyar berjamaah di Masjid At-Taibin Lapas Sragen;
5)        Kebaktian di gereja setiap Senin s/d Sabtu diikuti WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan) yang beragama Nasrani dengan Pendeta dari BKGS Kab.Sragen secara bergantian;
6)        Upacara bendera hari Kesadaran berbangsa dan bernegara bersama petugas setiap tanggal 17 setiap bulan dengan mengagendakan pembacaan Catur Dharma Narapidana dan paduan suara untuk menyanyikan Iagu Indonesia Raya dan lagu-lagu perjuangan;
7)        Latihan Musik Band dan Qosidah seminggu 2 (dua) kali;
8)        Latihan bola volley setiap hari Jum’at dan Sabtu;
9)        Latihan Tennis Meja,Catur dan lain-lain setiap hari di blok masing-masing pada waktu senggang;
10)    Kejar Paket A setiap hari Selasa dan Kamis diikuti oleh sekitar 22 orang ,bekerja sama dengan UPT Diknas Kabupaten Sragen;
11)    Kegiatan perpustakaan setiap hari dengan anggota sekitar 56 orang dan jumlah buku 500 buah;
12)    Pemeliharaan taman luar dan dalam serta kebersihannya setiap hari;
13)    Rekreasi berupa pemutaran film (video) dan hiburan musik setiap Sabtu.
b.    Pembinaan Kemandirian
1)        Pembuatan gerabah untuk memenuhi pesanan dari luar Lapas dan juga dipamerkan di dalam Lapas;
2)        Pembuatan paving blok memenuhi pesanan dari luar Lapas;
3)        Penjahitan bekerjasama dengan konveksi memenuhi pesanan dari dalam dan luar Lapas;
4)        Pertanian dengan menanam sayur di dalam dan luar tembok Lembaga Pemasyarakatan untuk dipasarkan;
5)        Pembibitan tanaman hias di tempat khusus dan blok hunian untuk dipasarkan pada kios di luar Lembaga Pemasyarakatan;
6)        Kerajinan tangan seperti layang-layang, blangkon, kapal-kapalan, konde, wig dan cinderamata lainnya untuk dipasarkan di luar Lapas;
7)        Seni lukis untuk dipasarkan di luar Lapas dan dipamerkan di dalam Lapas;
8)        Pembuatan batu bata untuk dipasarkan keluar Lapas;
9)        Potong rambut dengan membuka kios di luar lembaga Pemasyarakatan;
10)    Tambal ban dengan membuka kios di luar Lembaga Pemasyarakatan;
11)    Pencucian mobil dengan membuka di luar Lembaga Pemasyarakatan;
12)    Budidaya lele di luar Lembaga Pemasyarakatan untuk dipasarkan.
Secara empiris, pembinaan yang diterapkan terhadap narapidana lanjut usia di Lapas Sragen lebih ditekankan pada hal yang bersifat persuasif dalam tiap kegiatannya selama di dalam Lapas. Hal yang bersifat persuasif ini diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam pola pembinaan kepribadian. Namun hal ini tidak bisa dikatakan secara pasti kalau seorang narapidana lanjut usia hanya diterapkan pembinaan dengan pola pembinaan kepribadian saja, tetapi kekhususan ini disesuaikan dengan kondisi atau kemampuan dari tiap pribadi narapidana lansia baik kondisi fisik maupun mental dan kejiwaannya. Dengan demikian, tidak ada pemaksaan dari wali pemasyarakatan kepada narapidana lansia untuk mengikuti atau tidak mengikuti program pembinaan yang dilaksanakan.
Secara umum terdapat banyak kegiatan-kegiatan untuk memberi pembinaan baik yang bersifat kepribadian maupun kemandirian kepada narapidana, khususnya narapidana lansia. Namun dengan melihat kondisi fisik dan mental atau kejiwaan narapidana, tidak semua narapidana lansia diikutkan dalam proses kegiatan pembinaan. Narapidana lansia yang ada di Lapas Sragen semuanya beragama islam, sehingga kegiatan pembinaan kepribadian yang dilaksanakan oleh pihak Lapas berkisar kegiatan-kegiatan keislaman, antara lain:
1)   Taman Baca Al-Quran setiap Senin, Selasa dan Kamis;
2)   Pengajian setiap hari Rabu diikuti oleh seluruh Napi/Tahanan yang beragama Islam, penceramah dari pesantren Al-Widah, tokoh masyarakat dan petugas rohani Lembaga Pemasyarakatan Sragen secara bergilir;
3)   Perayaan hari besar Islam dengan pementasan seni rohani dan penceramah dari luar secara bergantian;
4)   Sholat Jum’at, Dhuhur dan Asyar berjamaah di Masjid At-Taibin Lapas Sragen.
Selain kegiatan-kegiatan yang bersifat pembinaan kepribadian, pembinaan kemandirian juga diterapkan terhadap narapidana lansia namun tidak diwajibkan atau diharuskan, karena dilihat dari segi kemampuan fisiknya. Pembinaan kemandirian yang telah diterapkan terhadap narapidana lansia, antara lain:
a)    Pertanian dengan menanam sayur di dalam dan luar tembok Lembaga Pemasyarakatan untuk dipasarkan;
b)   Pembibitan tanaman hias di tempat khusus dan blok hunian untuk dipasarkan pada kios di luar Lapas.
Adapun kegiatan-kegiatan lain di luar program pembinaan kepribadian yakni membersihkan lingkungan Lapas, misalnya yang dilakukan oleh salah satu narapidana lansia yaitu membersihkan halaman Lapas dan septic tank. Namun kegiatan yang bersifat rutinitas ini hanya dibebankan kepada narapidana lansia yang masih kuat secara fisik dan mampu mengerjakannya.

Faktor Pendorong dan Penghambat Tercapainya Tujuan Pembinaan Terhadap Narapidana Lanjut Usia Di Lembaga Pemasyarakayan Kelas IIA Sragen

-            Faktor Pendorong Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Lanjut Usia
Dalam pelaksanaan program pembinaan di Lapas Sragen, baik pembinaan kepribadian maupun kemandirian di Lapas Sragen terdapat beberapa faktor pendorong yang potensial mendukung tercapainya tujuan pemasyarakatan yang dilihat dari beberapa aspek, yaitu:
1)   Peran aktif keluarga Narapidana Lansia dalam memberikan dorongan atau motivasi positif;
2)   Kemampuan atau kecakapan individu wali pemasyarakatan dalam pelaksanaan pembinaan;
3)   Pelayanan Kesehatan yang cukup baik;
-            Faktor Penghambat Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Lanjut Usia
1)   Bidang Administratif
-       Pembuatan Litmas (Penelitian Kemasyarakatan) dari Bapas sebagian besar hanya dibuat secara umum dan kurang terperinci mengenai kondisi keluarga narapidana;
-       Berkas pengusulan surat-surat kelengkapan administrasi masih berlangsung lamban.
2)   Bidang Kepegawaian
-       Kurangnya tenaga profesional di bidang pembinaan dan tidak ada pelatihan khusus mengenai pelaksanaan proses pembinaan narapidana lansia, serta kurang pemahaman petugas akan arti pentingnya 10 prinsip pemasyarakatan dalam pelaksanaan tugas;
-       Belum adanya petugas pemasyarakatan yang khusus menangani Narapidana Lansia;
-       Terdapat kekurangtelitian Tim Pengamat Pemasyarakatan dalam mengamati syarat-syarat administratif;
-       Sosialisasi dari petugas Lapas Sragen yang kurang kepada masyarakat mengenai tugas dan arti pentingnya pemasyarakatan.
3)   Bidang Yuridis
-       Belum adanya kejelasan yang pasti mengenai batasan pengertian keluarga penjamin narapidana sebagai kelengkapan syarat administratif dalam proses pembinaan narapidana;
-       Peraturan mengenai pengawasan dan pembinaan narapidana, termasuk narapidana lansia yang sedang menjalani PB dan CMB dilingkungan masyarakat belum diatur secara rinci dan jelas.
4)   Bidang Kesehatan
-       Belum adanya sarana kesehatan kejiwaan (psikis) untuk Narapidana Lansia.
5)   Sikap Prisonisasi dan stigmatisasi masyarakat pada narapidana yang masih kental, terkhusus  yang sedang menjalani  proses pembinaan Pembebasan Bersyarat atau Cuti menjelang bebas yang  berada di lingkungan masyarakat
6)   Kondisi Sosial dan Ekonomi Narapidana Lansia yang kurang baik
7)   Penghuni Lapas Sragen yang melebihi kapasitas normal (Overload Capacity)
8)   Hambatan yang berasal dari dalam diri Narapidana Lansia (Objek Pembinaan), dapat berupa:
a)    Tingkat penyerapan dalam penerimaan materi pembinaan yang rendah;
b)   Penurunan fungsi organ tubuh;
c)    Rasa malu;
d)   Kemampuan mental yang menurun (Kondisi Psikis).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1.        Bentuk normatif pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen berlandaskan pada:
a)    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan;
b)   PP Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan;
c)    Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan;
d)   Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas PP Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan;
e)    Surat-Surat Keputusan yang terdiri dari:
-       SK Menteri Kehakiman No: M. 02-PK. 04.1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana dan Tahanan;
-       SK bersama Menteri Kehakiman RI dan Menteri Perindustrian No: 425/M/SK/U/1985 tentang Kegiatan Penyelenggaraan Program Latihan Kerja Industrial dan Pemasaran Hasil Produksi Narapidana;
-       SK Bersama antara Dirjen Pemasyarakatan, Depnaker dan Dirjen Rehabilitasi Sosial (Depsos) tanggal 7 Desember 1984, No: M 01-PK 03.01 tahun 1984 tentang Kerjasama dalam Penyelenggaraan Program Latihan Kerja Bagi Narapidana serta Rehabilitasi dan Resosialisasi Bekas Narapidana dan Anak Negara;
-       Surat-Surat Edaran misalnya Surat Edaran No.KP.10.13/31 tanggal 08 Pebruari 1995 tentang Penetapan Proses Pemasyarakatan sebagai Metode Pembinaan;
-       Petunjuk-petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis lainnya.
2.        Realisasi pembinaan narapidana lanjut usia di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen menunjukan bahwa:
a)      Pola pembinaan tidak mengandung perbedaan yang signifikan dengan pola pembinaan yang diberikan kepada narapidana biasa, yakni pembinaan yang dilakukan dibagi menjadi dua bagian yang berupa program pembinaan kepribadian dan program pembinaan kemandirian;
b)      Pelaksanaan program pembinaan terdapat perlakuan yang khusus dari petugas pemasyarakatan atau wali narapidana Lapas Sragen.
3.        Intensitas peran dan partisipasi petugas pemasyarakatan dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana lanjut usia di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen diwujudkan sebagai wali narapidana atau pendamping narapidana lansia dalam tiap pelaksanaan program pembinaan secara intensif melalui pendekatan individu dan pendekatan persuasif.
4.        Faktor-faktor yang mendorong dan menghambat pelaksanaan pembinaan bagi narapidana lanjut usia yaitu:
a)    Faktor Pendorong
-       Ikut sertanya keluarga dalam memberikan motivasi positif yang dilakukan secara berkala ketika mengunjungi Narapidana Lansia;
-       Meningkatnya kemampuan atau kecakapan individu wali pemasyarakatan dalam memberikan pembinaan kepada narapidana lansia;
-       Pelayanan kesehatan medis di dalam lapas yang cukup memadai dalam memberikan jaminan kesehatan kepada narapidana lansia.
b)   Faktor Penghambat
-       Bidang Administratif, meliputi:
o  Pembuatan Litmas (Penelitian Kemasyarakatan) dari Bapas kurang terperinci mengenai kondisi keluarga narapidana, pendapat warga sekitar atau tokoh masyarakat setempat;
o  Berkas pengusulan surat-surat kelengkapan administrasi masih berlangsung lambat.
-       Bidang Kepegawaian, meliputi:
o  Kurangnya tenaga profesional di bidang pembinaan;
o  Tidak adanya pelatihan khusus mengenai pelaksanaan proses pembinaan narapidana lansia;
o  Kurangnya pemahaman petugas akan arti pentingnya 10 prinsip pemasyarakatan dalam pelaksanaan tugas;
o  Belum adanya petugas pemasyarakatan yang khusus menangani Narapidana Lansia;
o  Kurangnya pengawasan internal dari pimpinan Lapas Sragen terhadap petugas pemasyarakatan.
-       Belum adanya aturan sebagai payung hukum yang khusus mengatur tentang pembinaan dan pengawasan pembinaan diluar Lapas;
-       Belum adanya sarana kesehatan kejiwaan (psikis) untuk Narapidana Lansia;
-       Kultur masyarakat yang memberikan stigma negatif kepada narapidana;
-       Penghuni Lapas Sragen yang melebihi kapasitas normal (Overload capacity);
-       Kondisi sosial dan ekonomi narapidana lanjut usia yang kurang baik;
-       Hambatan yang berasal dari dalam diri narapidana lansia.
Saran
1.    Petugas pemasyarakatan selain hanya mempergunakan cara atau pola pembinaan dengan pendekatan secara normatif, diharapkan bisa dan mampu untuk memberikan pembinaan melalui pendekatan personal secara maksimal dengan para narapidana lansia.
2.    Pelaksanaan pembinaan narapidana lansia yang menggunakan dua pola pembinaan yaitu program pembinaan kepribadian dan program pembinaan kemandirian hendaknya lebih diintensifkan ke arah pembinaan kepribadian dengan perancangan pola kegiatan yang sedikit beragam agar para narapidana lansia tidak merasa bosan atau jenuh dalam mengikutinya.
3.    Bagi petugas pemasyarakatan dalam pemberian kekhususan perlakuan dalam pelaksanaan pembinaan, hendaknya tidak berdasarkan atas penilaian subyektif semata, namun berdasarkan penilaian secara obyektif dengan melihat kondisi sebenarnya dari narapidana lansia.
4.    Pihak Lapas Kelas IIA Sragen hendaknya mulai menilai dan memperhatikan kembali sarana dan prasarana kesehatan yang mengalami kekurangan obat-obatan dan pemanfaatan fasilitas medis yang kurang maksimal.
5.    Pihak Lapas Sragen hendaknya mulai mengkonsepkan pola pembinaan khusus untuk narapidana lansia yang berbeda dengan pola pembinaan pada narapidana biasa.
6.    Bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah kabupaten Sragen, harus mulai memikirkan kehidupan narapidana lansia selanjutnya setelah bebas dari proses pembinaan di Lapas.


[1] Ilhami Bisri, 2004, Sistem Hukum Indonesia, Prinsip-prinsip dan Implementasi hukum di Indonesia, Jakarta: Grafindo Persada, hal. 39-40.
[2] Akhmadi, 2005, Permasalahan Lanjut Usia (Lansia),dalam http://www.rajawana.com. Diunduh Kamis, 2 Desember 2010 pukul 17:15.
[3] Ibid.
[4] Soerjono dan Abdulrahman, 2003, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, hal.23.
[5] Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.